Melihat Tan Malaka dari Kacamata Eksistensialisme

 

Pendahuluan

Bayangkan seorang pemuda Minangkabau yang hidup di awal abad ke-20, tumbuh di tengah penjajahan Belanda, lalu merantau hingga Eropa, menyerap gagasan besar dunia, dan kembali dengan semangat untuk membebaskan bangsanya. Tan Malaka (1897-1949) seorang tokoh yang sering disebut misterius, penuh intrik politik, tapi juga sarat gagasan yang jauh melampaui zamannya. Banyak orang mengenal Tan Malaka sebagai revolusioner, guru bangsa, atau ideolog kemerdekaan. Tetapi di sini kita mencoba melihat Tan dari sudut pemikiran dan gagasan-gagasannya yang dekat dengan eksistensialisme, filsafat tentang kebebasan, tanggung jawab, dan makna keberadaan manusia. Dalam tulisan ini, saya ingin mengajak kita semua menyelami bagaimana pemikiran Tan Malaka dapat dibaca melalui lensa eksistensialisme. Sebuah perjalanan mencari makna hidup di tengah perjuangan kemerdekaan.


Manusia dan Kebebasan

Bagi eksistensialis, manusia adalah makhluk yang pertama-tama ada, lalu menentukan esensi dirinya. Maksudartinya yaitu kita lahir tanpa definisi tetap, lalu menulis kisah hidup kita lewat pilihan dan tindakan. Tan Malaka, lewat karya-karyanya seperti Madilog dan Pandangan hidup, mengajak kepada kita untuk selalu memperhatikan pentingnya kebebasan dalam berpikir. Ia muak dengan pendidikan kolonial yang hanya mengajarkan hafalan, tanpa ruang untuk berpikir kritis. Salah satu tulisannya yang menunjukan kekesalan terhadap keterkurungan tadi seperti, kebiasaan menghafal itu tidak menambah kecerdasan, malah menjadikan saya bodoh, mekanis, seperti mesin. Kalimat ini seperti tamparan keras, dan mempertanyakan fungsi pendidikan formal, jika hanya menjadikan manusia seperti robot? Di sini kita bisa melihat benang merah dengan eksistensialisme, kebebasan berpikir adalah syarat dasar manusia untuk benar-benar hidup otentik.


Kemerdekaan Diri

Ketika kita mendengar kata merdeka, biasanya yang terbayang adalah bangsa yang lepas dari penjajah. Tapi bagi Tan Malaka, kemerdekaan bukan sekadar urusan politik. Ia menganggap bahwa manusia harus llebih dulu merdeka secara batin, mental dan sosial. Ia menulis bahwa bangsa Indonesia tidak akan merdeka kalau warganya masih terbelenggu oleh egoisme, mementingkan diri sendiri, dan tidak mampu membangun persatuan. Dengan kata lain, kemerdekaan sejati hanya bisa dicapai ketika setiap individu berani membebaskan dirinya. Eksistensialisme berbicara hal yang sama, kita tidak bisa bersembunyi di balik tradisi, dogma, atau sistem. Manusia harus mengambil sikap, melepaskan diri dari belenggu, dan mengakui dirinya sebagai subjek yang bebas.


Pilihan, Tanggung Jawab dan Penderitaan

Kebebasan bukan hadiah manis, ia selalu datang bersama tanggung jawab. Setiap pilihan berarti menanggung konsekuensinya. Tan Malaka tahu betul arti penderitaan. Ia hidup dalam pelarian, berpindah dari satu negara ke negara lain, dipenjara, bahkan diasingkan. Tapi justru dari penderitaan itulah lahir kesadaran bahwa manusia dibentuk oleh benturan-benturan hidup. Ia terkenal dengan kalimat singkat tapi dalam “Dari terbentur, terbentur, terbentur, kemudian terbentuk.” Kalimat ini mirip sekali dengan gagasan eksistensialis, bahwa manusia menjadi dirinya sendiri justru lewat krisis, kegagalan, dan penderitaan. Tanpa itu semua, eksistensi manusia hanya datar dan tak bermakna.


Makna dan Kterasingan Hidup

Apa arti hidup? Pertanyaan ini adalah inti dari eksistensialisme. Bagi Tan Malaka, hidup menemukan maknanya ketika manusia menggunakan pikirannya untuk membebaskan diri dan bangsanya. Ia dengan tegas menyebut dalam tulisannya kalau manusia ialah hewan yang berpikir. Kalimat sederhana ini seolah ia ingin mempertegas bahwa keberadaan manusia berbeda dari makhluk lain justru karena kemampuan berpikirnya. Dan berpikir bukan sekadar logika kosong. Berpikir adalah tindakan, keberanian untuk mengubah keadaan. Namun Tan Malaka juga paham bahwa pendidikan bisa membuat manusia terasing dari masyarakatnya. Ia pernah mengkritik kaum muda yang merasa pintar setelah sekolah, tapi tidak tahu pendidikan itu untuk apa, sehingga kaum muda menjadi enggan turun ke sawah atau menyatu dengan rakyat kecil. Dalam kritiknya Tan Malaka menyebutkan, bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali. Bukankah ini gambaran keterasingan yang nyata? Orang yang menuntut ilmu tapi justru kehilangan kedekatan dengan realitas hidup. Dalam bahasa eksistensialis, ini adalah bentuk kehidupan tidak otentik.


Eksistensi yang Kolektif

Eksistensialisme Barat sering menggemborkan kebebasan individu, manusia berdiri sendiri, menghadapi absurditas, lalu memilih jalan hidupnya. Tan Malaka setuju bahwa manusia harus bebas, tapi ia menambahkan kalau Eksistensi juga berarti kolektif. Kita tidak hidup sendirian. Hidup menjadi bermakna justru ketika manusia terhubung dengan perjuangan bersama. Itu sebabnya ia menolak pendidikan yang membuat anak muda merasa asing dari rakyat. Itu juga sebabnya ia berjuang habis-habisan agar bangsa Indonesia merdeka. Eksistensi bagi Tan Malaka tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial, manusia hanya bisa menemukan dirinya dalam solidaritas.


Pendidikan sebagai Jalan Eksistensi

Tan Malaka percaya bahwa pendidikan adalah jalan bagi manusia untuk menemukan dirinya. Tapi bukan pendidikan yang dilakukan oleh kolonial yang menumbuhkan mental budak, melainkan pendidikan yang membebaskan. Tan Malaka mengatakan, tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan serta memperhalus perasaan. Dalam ketiga hal tadi kita melihat bagaimana eksistensialisme itu sangat menonjol, kecerdasan untuk berpikir kritis, kemauan untuk memilih dan bertanggung jawab, serta perasaan untuk memahami diri dan orang lain. Pendidikan yang demikianlah yang bisa membentuk manusia otentik, yaitu manusia yang tahu siapa dirinya dan apa tujuan hidupnya.


Eksistensialisme Barat dan Tan malaka

Kalau kita bandingkan dengan Sartre, Camus, atau Kierkegaard, ada kesamaan sekaligus perbedaan. Kesamaannya yaitu menjunjung kebebasan, tanggung jawab, dan pencarian makna hidup. Tapi Tan Malaka tidak berhenti pada renungan pribadi, ia selalu membawa gagasan itu ke medan sosial politik. Sartre mungkin bicara soal kebebasan radikal manusia, Camus menulis tentang absurditas, Kierkegaard tentang iman personal. Tan Malaka bicara soal rakyat, persatuan, revolusi. Eksistensinya bukan di meja tulis, tapi di jalan, di penjara, di medan pertempuran ide.


Penutup

Tan Malaka pernah berkata bahwa pendidikan adalah untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, dan memperhalus perasaan. Jika kita resapi lebih jauh, kalimat itu bukan hanya tentang sekolah, melainkan tentang eksistensi manusia itu sendiri. Di balik sosok revolusioner, ada seorang pemikir yang menyadari bahwa manusia bukan sekadar pion dalam permainan sejarah. Kita punya kebebasan, kita punya tanggung jawab, kita punya kesempatan untuk menemukan makna hidup. Dan mungkin di situlah letak eksistensialisme Tan Malaka menangkap sebuah panggilan untuk tidak sekadar hidup, tetapi hidup secara otentik, berpikir, memilih, bertindak, dan berjuang.


Wawan Sutaji


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama