Sepenggal Kisah Tentang Cinta - Mozaik I

  


Sudah satu bulan lebih, terhitung dari pertama kali berada di rumah sakit ini aku menemani kakek yang dirawat karena penyakitnya, selain karena penyakit, faktor usia jugalah yang meyebabkan kakek sering bolak-balik ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan. Sebagai seorang cucu aku dan Natalia yang bertugas mengurusnya secara bergantian. Pada waktu siang jadwal kami menemani kakek disesuaikan degan jadwal luang kami di Universitas, kebetulan waktu perkuliahan kami berbeda jadwal. Walaupun kadang ada beberapa kepentingan yang tidak bisa kami tinggalkan, kami akan mengabari untuk mencoba menyesuaikan waktu. Sedangkan diwaktu malam, kami berdua menjaganya secara bersama.

Aku dan Natalia hanya terpaut usia dua tahun, sesuai cerita yang sering disampaikan kakek bahwa orang tua kami meninggal terkena virus corona di tahun 2020. Berdasarkan data yang pernah aku baca pada sebuah Jurnal Ilmiah, Virus yang pertama kali ditemukan di Wuhan itu memang pernah ditakuti dan pernah hampir memusnahkan seperempat populasi manusia di Bumi.

        Walaupun ada data lain yang menyebutkan bahwa virus itu hanyalah konspirasi belaka, tapi nyatanya menurut dokter kedua orangtuaku meninggal dikarenakan virus tersebut. Aku yang saat itu masih berumur tiga tahun, tentu tidak mengingat apa yang terjadi pada waktu itu.

Sepeninggal orangtuaku, aku dan Natalia diasuh dan dibesarkan oleh kakek, kakek pulalah yang membiayai kami sampai menempuh Pendidikan di Universitas Goethe Frankfrut. Sejarah panjang mencatat bahwa Universitas tersebut banyak melahirkan pemikir-pemikir hebat, yang bahkan lahir sebuah Mazhab pemikiran yang disebut sebagai Mazhab Frankfrut, suatu mazhab yang merawat pemikiran modern Eropa hingga saat ini. Universitas itu juga merupakan salah satu universitas terbaik di Jerman.

Sebelum aku bekerja sebagai jurnalis di salahsatu media masa, kakek pulalah yang menjadi tulang punggung kami. Kakek bekerja sebagai pengajar dan menjadi guru besar di Universitas Berlin, selain itu kakek merupakan seorang penulis yang karya-karyanya banyak dimuat baik di media cetak maupun online. Setelah kakek pensiun beberapa tahun lalu, akulah yang menggantikan posisinya sebagai tulang punggung keluarga. Ditengah hiruk-pikuk kehidupan Jerman, tidak ada keluarga lain yang kami miliki, itu disebabkan karena dulunya kakek merupakan seorang imigran dari Indonesia yang pindah pasca kematian orangtuaku. Begitupun dengan nenek, kakek bercerita bahwa nenek juga merupakan orang Indonesia yang meninggal disana. Walaupun komposisi keluarga kami tidak lengkap, tapi kami cukup bahagia dan saling memiliki. Kekurangan itu pulalah yang setidaknya mengajarkan kami akan arti sebuah kehilang.

Guten Tag”.[1] Ucap seseorang perawat yang melangkah kearah kami. “Aku perlu memeriksanya”. Ucapnya kemudian.

“Ja, bitte”.[2] Ucapku, seraya berpindah tempat memberikan ruang kepada perawat yang akan

memeriksa kakek.

Setelah melemparkan senyum ramahnya, perawat itu segera memeriksa kakek dengan pertama-tama mengecek suhu tubuh. detak jantung, tekanan darah. Kegiatan pemeriksaan itu ia selingi dengan menuliskan hasil perkembangannya pada berita acara yang ia bawa. Kemudian kegiatan itu ia akhiri dengan mengganti cairan impus yang akan habis.

Sebelum beranjak pergi, perawat itu memberikan resep obat yang harus aku ambil dibagian farmasi. Kemudian ia mendoakan kesembuhan kakek dan beranjak pergi sambal tetap melemparkan senyum ramahnya.

Aku kembali duduk di samping tempat pembaringan kakek, aku memandangi wajahnya, kerutan wajah yang tidak bias membohongi usianya Nampak begitu jelas. Kugenggam jari-jemarinya dengan erat, perasaan khawatir akan kehilangan menjalar dipikiranku, badanku bergetar hebat membayangkan sesuatu yang tidak aku inginkan.

Sesaat kemudian mata kakek terbuka secara perlahan, ia memalingkan wajahnya kearahku. Ia menatapku yang sedari tadi menatapnya.

Fühlst du dich gut?”.[3] Tanyaku.

Ia tidak menjawab, tapi senyum khasnya kembali mengembang dibibirnya, senyum yang sudah lama tidak aku lihat, senyum yang sedari kecil selalu menenangkanku ketika aku menangis, senyum yang seakan berbicara “Tidak ada yang harus ditakutkan, semuanya akan baik-baik saja”. senyum khas yang begitu banyak arti. Saking banyaknya, saat ini pun aku harus kembali menerka arti apa yang ada pada senyumnya. Mungkin itu jawaban untuk menandakan bahwa ia memang merasa sehat, mungkin juga itu senyum yang sama ketika aku kecil. Senyum yang hanya sekedar untuk menenangkanku. Tapi dulu dan sekarang berbeda, jika dulu bisa saja senyumnya berbicara bahwa semuanya baik-baik saja, tapi sekarang aku sudah dewasa, sudah bias menerka keadaan baik-baik saja dan sebaliknya.

Suara pintu terbuka kembali terdengar, dan ternyata Natalia masuk sambal membawa beberapa bungkus roti dan makanan ringan untuk bekal nanti malam. Ia segera melepaskan sepatu dan mantel tebal yang sedikit basah oleh salju, lalu menyimpannya pada tempat penyimpanan di dekat pintu masuk.

Natalia berjalan kearah kami, ia mencium kening kakek. ia memandang lekat kearah kakek, tanpa kata, tanpa bahasa. Semakin dalam ia memandang kakek, matanya mulai berkaca-kaca. Entah apa yang dipikirkannya. Air mata hanya memiliki dua makna, pertama kesedihan, kedua kebahagiaan. Dan lagi-lagi aku harus menerjemahkan apa makna dari air mata itu. Tapi kesimpulanku jatuh pada sangkaan bahwa iapun sedang bersedih merasakan kesedihan yang sedari tadi aku rasakan.

“Tidak ada yang harus ditakutkan, semuanya akan baik-baik saja”. Kakek berbicara memecahkan keheningan diantara kami.

Mendengar kata-kata itu terucap, air mata Natalia semakin deras keluar, perempuan memang mahluk perasa. Aku melihat bahasa kesedihan sedang berbicara dari matanya. Sedari kecil aku dan Natalia sering berbeda pendapat tentang banyak hal. Tapi kali ini, sepertinya ia sepakat denganku bahwa kakek sedang membohongi kami dengan senyum dan bahasa yang seolah-olah menjelaskan bahwa keadaan sedang baik-baik saja.

“Dulu aku pernah bertanya tentang ‘apa yang pasti di dunia ini?’. Aku melihat setiap waktu dunia, alam semesta, hidup, dan kehidupan selalu berubah. Perubahan itu merupakan ketidakpastian. Tidak bisa ditebak. Lalu pikiranku menjawab bahwa yang pasti itu adalah ketidakpastian itu sendiri. Tapi itu jawaban yang masih mengambang, hingga sampai pada titik ini. Aku memahami bahwa yang kongkrit, yang nyata dari sebuah kepastian adalah kematian. Lagi pula apa yang ditunggu manusia dalam hidupnya selain kematian. Pahami dan terimalah kematian seseorang sebagai sebuah kepastian. Jadi, tidak perlu ada kesedihan, tidak perlu ada air mata”.

Aku memahami apa yang kakek katakan, tapi pemahamanku yang berasal dari akal masih saja tidak bisa aku terima dengan perasaan yang berasal dari hati.

Sejenak kami terdiam, tapi kakek kembali berbicara “Sebelum semuanya berlalu, aku ingin meminta tolong satu hal, di kamarku, tepatnya dimeja kerjaku ada sebuah kotak kayu, didalamnya ada sebuah buku. Aku ingin buku itu diberikan kepada seseorang”.

“Seseorang?”. Tanya Natalia

“Iya, aku tidak bisa berbicara banyak, tapi kalian akan tahu juga. Alamatnya pun sudah aku tuliskan di buku catatan itu”.

Aku tidak mengiyakan atau mentidakkan akan permintaan kakek itu, aku memandang Natalia yang sepertinya masih belum bisa mengendalikan emosinya.

“Tidak akan ada yang berlalu, kau akan sembuh, dan kita akan menjalani hidup seperti biasa lagi”. Ucap Natalia sambil mencoba tersenyum dan mengusap air mata yang sedari tadi rembas membasahi pipinya. “Tidak ada yang harus ditakutkan, semuanya akan baik-baik saja”. Sambung Natalia.

“Sekarang siapa yang sedang berbohong?”. Tanya kakek sambil menahan tawa ketika mendengar Natalia mengulang kata-kata yang diucapkannya. Kami bertiga saling memandang, dan sesaat kemudian tertawa kecil untuk setidaknya menyembunyikan kesedihan yang sedang menyelimuti perasaan kami.



[1] “Selamat Sore”.

[2] “Iya, Silahkan”.

[3] “Apakah kau merasa sehat?”

Post a Comment

Previous Post Next Post