Sebuah Refleksi: Chairil dalam Hukum Newton

Filsuf Tibet pernah berkata "Jangan memulai apapun, maka tidak akan terjadi apapun".

Pada redaksi lain, Newton pun membicarakan hal serupa dalam teorinya, Newton I, II, dan III sendiri tak lain dan tak bukan membicarakan ikhwal perpindahan dan perubahan, yang jika kita sederhanakan dengan bahasa lain yaitu bahwa Hukum Newton adalah pembicaraan tentang sebuah pergerakan.

Hukum I dan II misalkan, menjelaskan bahwa jika benda diberi gaya, maka benda tersebut akan berpindah tempat. Semakin besar gaya yang diberikan, akan menetukan seberapa jauh benda bergerak dan benda akan berusaha memepertahankan posisinya. Benda yang diam akan tetap diam, dan yang bergerak lurus beraturan akan bergerak lurus beraturan.

Sedangkan dalam Hukum III nya, F_aksi=F_reaksi, yang kurang lebih begitulah rumusnya. Secara teks, menjelaskan tentang gerak balik dari sebuah gaya. Tapi secara konteks, kita bisa memahaminya dengan makna lain. Yaitu F_aksi=F_reaksi adalah ikhwal Sebab-akibat

F_aksi merupakan sebab, dan F_reaksi akibatnya. Dalam hal ini kita perlu membuat catatan, bahwa hukum ini harus terlepas dari kerasionalan tapi terikat dengan kelogisan. Kita tahu bahwa tidak semua hal rasional, tapi kalau berbicara kelogisan, maka semuanya akan logis, karena semua hal memiliki epistemologinya masing-masing.

Ketika Newton membuat hukumnya, ia tidak mengekslusifkan hukumnya itu hanya berlaku pada benda saja. Tetapi jauh daripada itu, juga berlaku untuk semua materi, dalam hal ini, manusia, dunia dan segala keduniaannya adalah materi. Artinya apa? Artinya Hukum Newton bisa diterapkan dalam laku hidup manusia.

Ketika manusia menginginkan satu tujuan yang ingin ia capai, maka harus ada F_aksi yang ia lakukan sehingga nantinya akan menimbulkan F_reaksi. Kita ambil pemisalan, manusia ingin pintar, maka ia harus belajar. Dalam hal ini pintar adalah reaksi, dari belajar yang merupakan aksi.

F_aksi=F_reaksi pada akhirnya berarti membicarakan proses, dan apa yang sejauh ini saya alami dan saya pahami. Bahwa proses akan bermuara pada satu hasil yang serba mungkin, BERHASIL dan GAGAL. Tapi yang menjadi point pentingnya adalah, bahwa tidak ada hasil tanpa sebuah proses. Di sini, seseorang yang ingin berhasil, mau tidak mau seharusnya ia harus siap menerima kegagalan.

Walaupun, dalam hal lain bahwa gagal itu sendiri bisa ditelaah prihal penyebabnya. Jika kita berpijak kembali kepada Newton. Maka bisa jadi kegagalan adalah hasil dari kurangnya gaya yang diberikan, sehingga menyebabkan perpindahan benda tidak sesuai harapan.

Kita tahu bahwa, manusia adalah mahluk yang fana. Dimana kefanaan ini pada akhirnya akan membatasi segala upaya, pergerakan dan proses. Chairil dalam salah satu sajaknya, menyebutkan bahwa. “Sebelum pada akhirnya kita menyerah, hidup hanyalah prihal menunda kekalahan”. Apa artinya menyerah?, dan dengan apa kita menunda kekalahan?

Kita akan menyerah? ya, kita akan menyerah pada kematian, begitulah sederhananya Si Binatang Jalang memandang hidup, tapi lebih jauhnya ia memberikan catatan penting, yaitu bahwa, setidaknya kita harus menunda kekalahan.

Ketika kita tidak menunda kekalahan, maka kita akan mati pada saat itu juga. Tapi dengan menunda kekalahan kita akan menemukan sebuah nilai dari diri manusia itu sendiri. Tidak penting seberapa jauh manusia melangkahkan kakinya, yang terpenting adalah ada-tidaknya manusia itu dalam kemelangkahannya.

Dalam sajak yang lain, Chairil memberikan gambaran bagaimana cara ia menunda kekalahannya. “Aku ingin hidup seribu tahun lagi”. Walaupun ia tau ia akan kalah, tapi ia berkeinginan menunda kekalahan itu. Hidup seribu tahun lagi adalah sesuatu hal yang kemungkin tercapainya sangat kecil. Tapi bagaimana ia menunda kekalahan? Jawabannya sederhana. Yaitu berproses dan bergerak. Sehingga dengan itu ia menciptakan satu nilai yang kemudian melekat pada dirinya (dalam hal ini sastrawan). Dan nilai kemelekatan inilah yang membuat ia hidup seribu tahun lagi.

Kita tidak menapikan bahwa saat ini Chairil dalam kematiannya masih hidup dalam bentuk lain, selama Aku masih dibacakan, dikaji, diingat, dikritisi dalam meja pertemuan, dan ditulis pada tembok-tembok berlumut Gedung yang tak terpakai. Selama itulah Chairil pada akhirnya hidup langgeng. Bisa seribu tahun lagi seperti cita-citanya, bahkan mungkin dua ribu tahun lagi.

Ya Chairil, aku sepakat bahwa hidup adalah prihal menunda kekalahan.

Rizki Mohammad