Pendahuluan
Nama Nucholish Madjid atau yang akrab dipanggil Cak Nur, selalu hadir ketika kita membicarakan pembaruan pemikiran Islam di Indonesia. Ia dikenal sebagai intelektual muslim yang berani, progresif, dan filosofis. Lahir di Jombang, Jawa Timur pada 17 Maret 1939 dari keluarga santri, perjalanan intelektualnya menjembatani tradisi pesantren dengan pemikiran modern. Dimensi filosofis Cak Nur tidak hanya menyentuh soal agama dan politik, tetapi juga menyentuh inti keberagamaan itu sendiri, hubungan antara iman, akal, dan realitas sosial. Di sini kita akan menelusuri gagasan-gagasannya mulai dari rasio dan iman, sekularisasi, hingga pluralisme.
Dari Pesantren ke Chicago
Nurcholish mengawali pendidikan di pesantren modern Darussalam Gontor, lalu melanjutkan ke IAIN (kini UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Namun perjalanan intelektualnya tidak berhenti di sana. Ia menempuh studi doktoral di University of Chicago di bawah bimbingan pemikir Islam terkenal, Fazlur Rahman. Pengalaman ini membentuk dua sisi dirinya, akar kuat pada tradisi Islam Indonesia sekaligus keterbukaan pada filsafat modern. Dari sinilah lahir pemikiran yang menolak dikotomi Islam tradisional versus Islam modernis. Sebaliknya, ia mendorong neo-modernisme, sebuah upaya menyatukan keduanya agar relevan dengan tantangan zaman.
Rasio dan Iman
Salah satu dimensi filosofis Cak Nur yang penting adalah posisinya terhadap rasio dan iman. Menurutnya, agama tidak boleh bertentangan dengan akal sehat. Ia mengatakan Agama memang suprarasional, tetapi tidak bertentangan dengaan rasio, hanya berada pada tingkat yang lebih tinggi. Agama yang tidak bisa bertahan terhadap dan teknologi, bukan agama lagi. Pernyataan ini menolak pandangan sempit bahwa agama dan sains harus saling meniadakan. Bagi Madjid, justru agama harus tampil sebagai energi moral yang mendorong umat untuk mengejar ilmu. Ia juga menafsirkan zikir secara filosofis. Misalnya, ucapan "subhanallah" tidak hanya sekadar lafaz pujian, tetapi juga mengajarkan manusia agar tidak berprasangka buruk kepada Allah ketika mengalami penderitaan. "Alhamdulillah" adalah bentuk optimisme melawan sikap putus asa. Sedangkan "Allahu akbar" merupakan keyakinan bahwa pertolongan Allah lebih besar daripada semua rintangan. Dengan pendekatan ini, Madjid ingin menunjukkan bahwa agama tidak statis, melainkan terus hidup bersama tantangan ilmu dan peradaban.
Membebaskan Agama dari Politisasi
Dimensi filosofis lain dari Nurcholish terlihat jelas dalam kritiknya terhadap politisasi agama. Pada awal 1970-an, ia melontarkan slogan terkenal "Isalm Yes, Partai Islam No" Pernyataan ini mengguncang jagat politik Indonesia. Sebagian orang menuduhnya menolak Islam, padahal yang ia maksud adalah menjaga kesucian Islam dari kepentingan sempit politik praktis. Menurutnya, jika agama dijadikan kendaraan partai politik, maka kesalahan partai bisa ikut mencoreng nama Islam. Ia bahkan menyebut "Mempertukarkan agenda manusia dengen kehendak Tuhan merupakan tindakan penyembahan berhala." Bagi Madjid, agama seharusnya memberi arah moral dan etika bagi politik, bukan menjadi alat propaganda. Dengan demikian, ia mengusulkan sebuah sekularisasi yang bermartabat, pemisahan yang sehat antara nilai-nilai transenden dengan arena perebutan kekuasaan.
Harmoni Tradisi dan Modernitas
Cak Nur bersama Abdurrahman Wahid adalah tokoh penting dalam neo-modernisme Islam di Indonesia. Konsep ini mencoba keluar dari kebuntuan dua kutub tradisionalisme yang dianggap kaku, dan modernisme yang sering terlalu tekstual. Neo-modernisme menitik beratkan pada ijtihad kontekstual, yaitu upaya memahami ajaran agama sesuai konteks zaman. Dalam hal ini, Madjid mengingatkan agar umat Islam tidak terjebak pada romantisme masa lalu, tetapi juga tidak kehilangan akar tradisinya. Ia menyebut bahwa sekularisasi yang ia maksud bukanlah menghapus agama dari kehidupan, melainkan membebaskan agama dari hal-hal yang disakralkan secara salah. Dengan begitu, agama bisa hadir sebagai kekuatan moral yang segar dan dinamis.
Dimensi Etis Masyarakat Multikultural
Indonesia adalah negara yang sangat majemuk, baik agama, budaya, maupun etnis. Nurcholish sangat menyadari hal ini, sehingga ia menganggap pentingnya pluralisme. Baginya, pluralisme bukan sekadar hidup berdampingan, tetapi pengakuan tulus bahwa orang lain berhak atas kebenarannya sendiri. Ia menulis dalam banyak kesempatan bahwa Islam adalah agama yang terbuka dan tidak boleh digunakan untuk menindas kelompok lain. Inilah alasan mengapa ia begitu keras menentang eksklusivisme agama yang menutup diri dari dialog.
Pluralisme menurut Madjid adalah buah dari keyakinan teologis bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan yang beragam, dan keberagaman itu adalah kehendak-Nya. Karena itu, menghormati perbedaan justru merupakan bentuk ketaatan kepada Tuhan.
Agama sebagai Energi Moral
Bila dirangkum, filsafat hidup Cak Nur sangat sederhana namun mendalam. Agama adalah energi moral untuk membangun peradaban. Ia menolak agama yang hanya berhenti pada simbol, doktrin kaku, atau politisasi.
Dalam pandangannya, iman yang benar akan melahirkan manusia yang rendah hati, terbuka, dan rasional. Sedangkan akal yang sehat akan membawa manusia kepada kesadaran akan Tuhan. Dengan demikian, iman dan akal bukanlah dua hal yang bertentangan, melainkan saling melengkapi.
Warisan Filosofi
Walau telah wafat pada 29 Agustus 2005, pemikiran Nurcholish Madjid tetap hidup. Relevansinya justru semakin terasa di tengah menguatnya radikalisme, polarisasi politik, dan krisis etika dalam masyarakat.
Dimensi filosofis yang ia wariskan meliputi;
1. Sintesis iman dan rasio, agama tidak takut pada ilmu pengetahuan.
2. Sekularisasi yang sehat, menjaga agama tetap sakral dengan membebaskannya dari kepentingan politik.
3. Neo-modernisme, harmonisasi tradisi dan modernitas.
4. Pluralisme, membangun toleransi dalam masyarakat multikultural.
Filsafat ini bukan hanya milik umat Islam, melainkan sumbangan besar bagi seluruh bangsa Indonesia dalam membangun demokrasi dan kebudayaan yang lebih manusiawi.
Penutup
