Beranda Literasi- Dalam sejarah Indonesia, Mohammad Hatta dikenal sebagai tokoh proklamator, negarawan, sekaligus pemikir yang memiliki visi luas mengenai bangsa dan kemanusiaan. Ia tidak hanya terlibat dalam perjuangan politik, tetapi juga meninggalkan pemikiran yang mendalam tentang struktur sosial, demokrasi, dan pendidikan. Salah satu aspek yang jarang mendapat sorotan mendalam adalah pandangannya mengenai perempuan. Bagi Hatta, perempuan bukan sekadar pendamping laki-laki, melainkan bagian integral dari pembangunan bangsa. Pandangannya yang progresif tentang perempuan menjadi salah satu warisan intelektual yang patut digali lebih jauh.
Latar belakang Pemikiran Hatta
Pemikiran Hatta tentang perempuan tidak lahir dalam ruang hampa. Ia banyak dipengaruhi oleh pengalaman studinya di Belanda pada dekade 1920-an. Di sana, ia menyaksikan bagaimana gerakan emansipasi perempuan telah berkembang pesat, baik dalam bidang pendidikan maupun politik. Kesadarannya semakin diperkuat oleh pengaruh pemikiran tokoh-tokoh pergerakan nasional seperti Kartini, Dewi Sartika, dan Nyi Ageng Serang, yang dengan tegas memiliki anggapan pentingnya peran perempuan dalam membangun bangsa.
Dalam esainya yang berjudul Demokrasi Kita (1932), Hatta dengan tegas menyebut bahwa demokrasi sejati hanya bisa hidup jika semua warga negara, tanpa terkecuali, memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang. Ia menulis "Demokrasi tidak hanya berarti pemerintahan dari rakyat, tetapi juga pemerintahan untuk seluruh rakyat, laki-laki maupun perempuan". Dari sini terlihat bahwa ia tidak membedakan peran berdasarkan jenis kelamin, tetapi mengusung prinsip kesetaraan.
Perempuan dalam Ranah Pendidikan
Salah satu gagasan penting Hatta adalah keyakinannya bahwa pendidikan adalah kunci kebangkitan bangsa. Bagi Hatta, perempuan harus memperoleh kesempatan pendidikan yang sama dengan laki-laki. Ia melihat bahwa kemajuan suatu bangsa tidak mungkin tercapai jika setengah dari populasinya yaitu perempuan dibiarkan terbelakang.
Dalam salah satu tulisannya Hatta mengatakan, jika perempuan tidak mendapat pengajaran yang baik, maka anak-anak pun akan menjadi generasi yang lemah. Pandangan ini menunjukkan bahwa ia memahami peran strategis perempuan sebagai pendidik pertama dalam keluarga. Anak-anak yang kelak menjadi generasi penerus bangsa pertama-tama mendapat bimbingan dan pendidikan dari ibunya. Karena itu, jika perempuan tidak terdidik, maka kualitas generasi mendatang pun akan rendah. Pemikiran ini sangat progresif pada masanya, mengingat masih banyak masyarakat yang memandang bahwa perempuan hanya layak mengurus rumah tangga tanpa perlu mengenyam pendidikan tinggi. Hatta melawan pandangan tersebut dengan pandangan bahwa pendidikan tidak mengurangi kodrat perempuan sebagai ibu dan istri, justru memperkuatnya agar dapat mendidik anak-anak yang cerdas dan berkarakter.
Perempuan dalam Keluarga
Bagi Hatta, keluarga adalah unit terkecil dari bangsa dan keseimbangan dalam keluarga sangat menentukan arah kehidupan masyarakat. Ia memandang perempuan sebagai mitra sejajar bagi laki-laki dalam membangun rumah tangga. Perempuan bukan sekadar pengikut, melainkan partner yang memiliki hak untuk menyuarakan pendapat, mengambil keputusan, dan menentukan arah kehidupan bersama.
Dalam sebuah wawancara setelah ia menikah dengan Rahmi Rachim, Hatta pernah mengatakan, rumah tangga adalah kerja sama, suami istri saling menopang, bukan yang satu menguasai yang lain. Pandangan ini artinya mempertegas jika Hatta menolak sistem patriarki yang menempatkan laki-laki sebagai dominan dan perempuan sebagai subordinat. Hatta memberikan teladan melalui kehidupannya sendiri. Hubungan Hatta dan Rahmi sering digambarkan sebagai kemitraan yang saling menghormati. Ia tidak pernah menempatkan istrinya dalam posisi sekadar pengurus rumah tangga, melainkan sebagai pendamping yang berperan aktif dalam mendukung perjuangan dan kehidupan sehari-hari.
Perempuan dalam Ranah Politik dan Sosial
Selain pendidikan dan keluarga, Hatta juga menaruh perhatian pada keterlibatan perempuan dalam kehidupan politik dan sosial. Ia percaya bahwa perempuan memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi dalam pembangunan bangsa. Hal ini selaras dengan komitmennya terhadap demokrasi. Menurutnya, demokrasi tidak akan pernah lengkap jika setengah dari warga negara dikesampingkan dari ruang publik.
Dalam tulisannya mengenai Hak-Hak Asasi, Dengan tegas Hatta mengatakan bahwa hak politik adalah hak setiap warga negara, baik laki-laki dan perempuan tanpa terkecuali. Ia mendukung keterlibatan perempuan dalam organisasi sosial maupun politik. Pada masa pergerakan nasional, banyak tokoh perempuan yang aktif memperjuangkan kemerdekaan, seperti Siti Walidah (Nyai Ahmad Dahlan), Rasuna Said, dan Kartini melalui gagasan tulisannya. Hatta melihat hal itu sebagai bukti nyata bahwa perempuan memiliki kapasitas untuk memimpin dan berkontribusi dalam perjuangan nasional. Setelah kemerdekaan, ia juga mendukung partisipasi politik perempuan melalui hak pilih. Baginya, kemerdekaan Indonesia tidak boleh hanya dinikmati oleh laki-laki, tetapi juga harus memberi ruang penuh bagi perempuan untuk menentukan arah bangsanya.
Ekonomi, Perempuan dalam Kemandirian
Selain pendidikan dan politik, Hatta juga menyinggung aspek ekonomi dalam kaitannya dengan perempuan. Sebagai tokoh ekonomi kerakyatan, ia berpendapat bahwa perempuan perlu diberi kesempatan untuk mandiri secara ekonomi. Dengan kemandirian itu, perempuan tidak akan sepenuhnya bergantung pada laki-laki dan dapat berperan lebih aktif dalam masyarakat. Dalam pidatonya tentang koperasi pada tahun 1953, Hatta menyebut, koperasi bukan saja untuk laki-laki, perempuan pun mesti masuk, karena ia yang mengurus rumah tangga, ia pula yang tahu apa yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Pernyataan ini menunjukkan bahwa ia menilai perempuan memiliki potensi besar dalam sistem ekonomi kerakyatan. Dengan keterlibatan aktif perempuan dalam ekonomi, kesejahteraan keluarga dan bangsa dapat tercapai lebih cepat.
Relevansi Pemikiran Hatta tentang Perempuan
Meski pandangan Hatta lahir pada pertengahan abad ke-20, gagasannya tetap relevan hingga kini. Di era modern, isu kesetaraan gender masih menjadi pembahasan penting. Diskriminasi terhadap perempuan, baik dalam dunia kerja, pendidikan, maupun politik, masih sering terjadi. Pemikiran Hatta dapat menjadi inspirasi untuk mengatasi masalah tersebut, karena ia menganggap pentingnya melihat perempuan sebagai bagian integral dari bangsa, bukan sebagai pelengkap.
Dalam konteks pendidikan, gagasan Hatta dapat memotivasi pemerintah untuk terus memperluas akses pendidikan bagi perempuan, terutama di daerah-daerah yang masih tertinggal. Dalam bidang politik, pemikiran Hatta mendorong perlunya memperbesar representasi perempuan di lembaga legislatif maupun eksekutif. Sementara dalam bidang ekonomi, gagasan tentang kemandirian perempuan bisa diaktualisasikan melalui dukungan terhadap UMKM perempuan dan koperasi berbasis keluarga.
Kritik dan Batasan Pemikiran Hatta
Walaupun progresif, pandangan Hatta tentu memiliki batasan jika dilihat dari perspektif kontemporer. Ia masih memposisikan perempuan terutama dalam peran domestik sebagai pendidik anak. Meskipun hal ini penting, feminis modern mungkin melihatnya sebagai pembatasan ruang perempuan yang seharusnya bisa lebih bebas memilih jalannya sendiri. Namun, jika ditarik ke konteks zamannya, pandangan Hatta tetap merupakan lompatan besar karena ia sudah mendorong keterlibatan perempuan di luar rumah tangga. Keterbatasan lain adalah bahwa gagasan Hatta lebih banyak bersifat normatif ketimbang implementatif. Ia beranggapan tentang pentingnya kesetaraan, tetapi mekanisme konkret untuk mencapainya masih sangat dipengaruhi oleh situasi politik dan sosial pada masanya. Meski begitu, warisan pemikirannya tetap penting sebagai pijakan dalam memperjuangkan hak-hak perempuan di Indonesia.
Kesimpulan
Pandangan Muhammad Hatta tentang perempuan menunjukkan bahwa ia adalah seorang pemikir yang jauh melampaui zamannya. Ia menempatkan perempuan sebagai subjek penting dalam pendidikan, keluarga, politik, dan ekonomi. Hatta percaya bahwa kemerdekaan dan kemajuan bangsa tidak akan pernah terwujud tanpa keterlibatan aktif perempuan. Bagi Hatta, perempuan bukan sekadar pendamping laki-laki, melainkan mitra sejajar dalam membangun bangsa. Pandangan ini lahir dari perpaduan pengalaman, pemikiran Islam progresif, dan semangat kebangsaan yang ingin menegakkan demokrasi dan keadilan sosial. Meski pemikirannya masih memiliki keterbatasan, warisan intelektual Hatta tentang perempuan tetap relevan sebagai inspirasi bagi perjuangan kesetaraan gender di Indonesia masa kini. Dengan demikian, pemikiran Hatta tidak hanya penting dalam konteks sejarah, tetapi juga memberi arah bagi pembangunan bangsa yang lebih adil, setara, dan manusiawi di masa depan.
Wawan Sutaji