Eksistensialisme (Filsafat Kebebasan dan Pilihan Hidup)

Pendahuluan

Eksistensialisme adalah salah satu aliran filsafat modern yang paling berpengaruh pada abad ke-19 dan ke-20. Filsafat ini muncul sebagai respons terhadap perubahan besar di Eropa seperti revolusi industri, krisis agama, serta ketidakpastian sosial-politik. Tokoh-tokoh seperti Soren Kierkegaard, Friedrich Nietzsche, Jean-Paul Sartre, Martin Heidegger, hingga Albert Camus merupakan nama-nama sentral dalam perkembangan eksistensialisme. Secara sederhana, pokus eksistensialisme yaitu pada bagaimana manusia hidup, memilih, dan memberi makna pada kehidupannya di dunia yang absurd, penuh kebetulan, dan sering kali tanpa makna yang sudah ditentukan sebelumnya. Dalam esai ini, kita akan membahas asal-usul eksistensialisme, tokoh-tokoh penting, gagasan utama, pengaruh dalam seni dan sastra.


1. Asal-usul Eksistensialisme

Eksistensialisme berakar dari pergulatan manusia dengan kebebasan dan ketidakpastian. Berbeda dengan filsafat klasik yang banyak membicarakan hakikat universal, eksistensialisme berbicara tentang pengalaman individual.

A. Soren Kierkegaard (1813–1855), filsuf Denmark, dianggap sebagai bapak eksistensialisme. Ia membawa gagasan tentang pentingnya pilihan individual dan lompatan iman di tengah absurditas kehidupan. Baginya, manusia harus memilih jalan hidupnya sendiri, bahkan ketika pilihan itu penuh risiko.

B. Friedich Nietzche (1844–1900) mengumandangkan gagasan Tuhan telah mati. Pernyataan ini bukan sekadar penolakan agama, melainkan penegasan bahwa fondasi moral lama telah runtuh. Manusia harus menciptakan nilai-nilainya sendiri.

C. Martin Heidegger (1889–1976) mengembangkan konsep Dasein atau (ada-di-dunia), yang menjelaskan bahwa eksistensi manusia tidak bisa dipisahkan dari dunia yang ia huni.

Pemikiran-pemikiran ini menjadi pondasi yang kemudian dikembangkan secara lebih sistematis oleh filsuf abad ke-20, terutama Jean-Paul Sartre.


2. Eksistensialisme Menurut Jean-Paul Sartre

Jean-Paul Sartre (1905–1980) adalah tokoh paling populer yang memopulerkan eksistensialisme ke khalayak luas. Dalam bukunya L’Être et le Néant (Being and Nothingness, 1943), Sartre menyatakan bahwa eksistensi mendahului esensi. Artinya, manusia ada terlebih dahulu, kemudian melalui pilihan, tindakan, dan pengalaman, ia membentuk dirinya sendiri. Tidak ada kodrat bawaan yang menentukan siapa kita.

Sartre membawa tiga aspek utama;

a. Kebebasan radikal, manusia bebas memilih, bahkan dalam kondisi yang paling menekan sekalipun.

b. Tanggung jawab, kebebasan berarti manusia bertanggung jawab atas setiap pilihannya, tanpa bisa menyalahkan Tuhan, takdir, atau orang lain.

c. Kecemasan (angst), kesadaran akan kebebasan justru sering menimbulkan kecemasan, karena manusia sadar bahwa ia sendirilah yang memikul beban hidupnya.

Eksistensialisme Sartre juga menolak determinisme sosial. Baginya, manusia selalu bisa melampaui kondisi yang membatasinya melalui tindakan nyata.


3. Tema-tema Utama dalam Eksistensialisme

Ada beberapa konsep penting dalam eksistensialisme yang sering dibahas dalam filsafat, sastra, maupun psikologi.

a. Kebebasan dan Pilihan

Manusia bebas, tetapi kebebasan ini bukan sekadar hak, melainkan juga beban. Setiap pilihan menciptakan konsekuensi, dan tidak ada cara untuk lari dari tanggung jawab.

b. Absurdita

Menurut Albert Camus, hidup sering kali terasa absurd karena tidak ada makna objektif yang sudah ditentukan. Namun, justru dalam absurditas itulah manusia bisa menciptakan maknanya sendiri.

c. Otentisitas

Eksistensialisme menganjurkan pentingnya hidup secara otentik, berani mengambil keputusan berdasarkan diri sendiri, bukan sekadar mengikuti arus atau norma sosial.

d. Alienasi dan Kesepian

Dalam dunia modern, manusia sering merasa terasing baik dari masyarakat, dari Tuhan, maupun dari dirinya sendiri. Eksistensialisme mencoba menjawab keterasingan ini melalui kesadaran akan kebebasan dan tanggung jawab.


4. Eksistensialisme dalam Sastra dan Seni

Eksistensialisme tidak hanya berkembang dalam ruang akademik, tetapi juga menjadi inspirasi dalam karya sastra, teater, dan film. Albert Camus menulis L’Étranger (Orang Asing) dan La Peste (Sampar), yang menggambarkan absurditas hidup. Jean-Paul Sartre menulis drama seperti Les Mouches (Lalat) dan Huis Clos (Tertutup), yang memperlihatkan konflik manusia dengan kebebasan dan tanggung jawab. Fyodor Dostoevsky, meski hidup sebelum istilah eksistensialisme populer, melalui novel Catatan dari Bawah Tanah dan Kejahatan dan Hukuman, menggambarkan penderitaan, kebebasan dan pencarian makna hidup. Dalam film, tema eksistensialisme banyak muncul, misalnya dalam The Seventh Seal karya Ingmar Bergman atau Matrix yang menggambarkan pertanyaan tentang realitas dan kebebasan.

5. Kritik terhadap Eksistensialisme

Meskipun populer, eksistensialisme juga mendapat banyak kritik karena dianggap;

•Terlalu pesimis, sebagian orang menganggap eksistensialisme menjurus pada absurditas dan penderitaan tapi tanpa memberi solusi yang jelas.

•Subjektivisme berlebihan, fokus pada pengalaman individu dianggap mengabaikan struktur sosial, ekonomi, dan politik yang nyata memengaruhi hidup manusia.

•Kurangnya sistem etika, karena menolak moral absolut, eksistensialisme sering dianggap membuka ruang relativisme moral. Namun, justru dalam kelemahan itu eksistensialisme menarik karena ia memberi ruang bagi manusia untuk menghadapi kenyataan hidup apa adanya, tanpa ilusi.


6. Eksistensialisme di Indonesia

Eksistensialisme juga berpengaruh di Indonesia. Tokoh seperti Tan Malaka dalam Madilog menitik beratkan pada penggunaan rasionalitas dalam memahami dunia, meski tidak langsung menyebut dirinya eksistensialis. Dalam sastra, Chairil Anwar sering dikaitkan dengan nuansa eksistensialisme. Puisinya “Aku” menggambarkan semangat individu yang berani menghadapi hidup dengan kebebasan. Banyak mahasiswa, seniman, dan pemikir Indonesia juga terinspirasi oleh Sartre, Camus, dan Nietzsche dalam merenungkan persoalan kebebasan, alienasi, dan otentisitas di tengah kondisi sosial-politik yang menekan.


Kesimpulan

Eksistensialisme adalah filsafat yang mengajarkan kita untuk berani menghadapi hidup tanpa ilusi. Ia menolak gagasan bahwa manusia memiliki makna bawaan atau takdir yang sudah ditentukan. Sebaliknya, manusia sendirilah yang menciptakan makna melalui pilihan dan tindakan. Dengan tokoh-tokoh seperti Kierkegaard, Nietzsche, Sartre, Heidegger, dan Camus, eksistensialisme telah memberi kontribusi besar dalam filsafat, sastra, seni, hingga psikologi. Eksistensialisme mengingatkan kita untuk hidup otentik, menerima absurditas, dan terus berjuang menciptakan makna dalam kebebasan yang kita miliki.


Wawan Sutaji

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama