Literasi yang Tidak Menyentuh Kebiasaan Berpikir

Gambar 1. Literasi (Sumber:monkeybusinessimages)

Beranda Literasi - Gerakan literasi menjadi slogan yang akrab dalam dunia pendidikan. Sekolah menyediakan pojok baca, pemerintah meluncurkan program, dan masyarakat sering diingatkan tentang pentingnya membaca. Aktivitas membaca dianggap sebagai pintu utama menuju pengetahuan. Namun, sering kali literasi dipahami hanya sebagai aktivitas teknis mengurai huruf, menyerap informasi, lalu menyimpannya di dalam ingatan. Pemahaman seperti ini menutup ruang bagi literasi yang lebih mendasar, yaitu literasi yang melatih kebiasaan berpikir.

Membaca tidak berhenti pada aktivitas teknis. Membaca menuntut pembaca untuk menimbang, menghubungkan, dan memberi makna. Teks adalah ruang dialog yang terbuka bagi interpretasi. Tanpa proses berpikir, bacaan hanya menjadi kumpulan kata yang lewat begitu saja. Banyak murid mampu menyelesaikan bacaan panjang, tetapi kesulitan menjawab pertanyaan yang menuntut penalaran. Hal itu menunjukkan adanya jurang antara keterampilan membaca dan keterampilan berpikir.

Pendidikan sering mengukur literasi melalui indikator sederhana: kecepatan membaca, jumlah buku yang diselesaikan, atau kemampuan menjawab soal bacaan. Indikator semacam ini hanya menggambarkan permukaan dari kemampuan literasi. Murid terbiasa membaca untuk mencari jawaban singkat, bukan untuk menggali argumen. Mereka membaca teks sebagai rangkaian informasi yang netral, bukan sebagai pernyataan yang perlu diuji.

Kebiasaan berpikir memerlukan latihan terus-menerus. Pertanyaan yang muncul dari bacaan harus ditanggapi dengan dorongan untuk menelusuri alasan di baliknya. Sebuah teks sejarah tidak hanya mencatat peristiwa, melainkan juga mengandung sudut pandang penulis. Teks sains tidak hanya berisi rumus, tetapi juga asumsi dan keterbatasan. Literasi sejati menuntut pembaca menyadari bahwa setiap teks membawa perspektif yang dapat dipertanyakan.

Guru memiliki peran penting dalam membentuk kebiasaan tersebut. Saat membaca bersama murid, guru dapat memperlihatkan cara menelusuri argumen, mengajukan pertanyaan kritis, dan membedakan antara fakta dan opini. Proses ini membutuhkan waktu lebih panjang daripada sekadar meminta murid merangkum bacaan. Akan tetapi, latihan seperti inilah yang membangun daya pikir.

Kelas yang mendorong kebiasaan berpikir sering ditandai dengan pertanyaan-pertanyaan terbuka. Guru tidak menutup diskusi dengan jawaban tunggal. Murid diberi kesempatan untuk mengajukan tafsir berbeda dan membangun argumen. Dalam suasana seperti ini, membaca bukan sekadar aktivitas menyelesaikan teks, melainkan latihan untuk berpikir kritis.

Kurikulum perlu mengakomodasi bentuk literasi yang lebih luas. Program membaca tidak cukup jika berhenti pada daftar buku wajib. Kurikulum harus memberi ruang bagi pembahasan yang mendalam, di mana murid belajar memeriksa gagasan yang mereka temukan. Proyek esai, debat, atau presentasi dapat menjadi cara untuk menguji sejauh mana bacaan membentuk kebiasaan berpikir.

Sistem penilaian juga perlu diarahkan ke hal yang sama. Selama penilaian hanya menimbang kecepatan membaca atau ketepatan menjawab soal pilihan ganda, murid tidak terdorong untuk membangun argumen. Penilaian yang memberi bobot pada analisis, sintesis, dan evaluasi akan lebih mencerminkan tujuan literasi sejati. Dengan begitu, bacaan berfungsi sebagai pemicu berpikir, bukan sekadar bahan hafalan.

Di luar sekolah, masyarakat juga memegang peran besar. Budaya diskusi, klub baca, atau forum publik dapat memperluas jangkauan literasi kritis. Bacaan tidak lagi berhenti sebagai konsumsi pribadi, melainkan menjadi bahan percakapan kolektif. Melalui percakapan itu, gagasan diuji, dipertanyakan, dan dikembangkan.

Tantangan utama terletak pada kebiasaan yang sudah mengakar. Banyak orang membaca hanya untuk mencari informasi singkat, bukan untuk membangun pemahaman yang lebih dalam. Media digital memperkuat kecenderungan ini dengan aliran informasi cepat yang jarang memberi ruang refleksi. Jika kebiasaan ini tidak diubah, literasi tetap berhenti pada keterampilan teknis yang dangkal.

Literasi yang sejati adalah literasi yang menyentuh kebiasaan berpikir. Literasi seperti ini menuntut keberanian untuk mempertanyakan, kesabaran untuk menelusuri, dan ketekunan untuk membangun argumen. Tanpa itu, literasi hanya menjadi slogan pendidikan yang kehilangan makna. Pendidikan yang sungguh-sungguh menghargai literasi harus berani menempatkan berpikir sebagai inti dari setiap kegiatan membaca.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama