Beranda Literasi- Di zaman sekarang, hampir setiap hari kita membeli sesuatu. Dari kopi pagi, pakaian, hingga gawai terbaru, konsumsi sudah menjadi bagian dari ritme hidup kita. Ada kepuasan ketika kita memegang barang baru, ada rasa nyaman ketika kebutuhan kita terpenuhi. Namun kita jarang kita bertanya, apakah yang kita konsumsi benar-benar netral secara moral? Apakah pilihan sederhana membeli sebuah kaos atau smartphone tidak punya kaitan dengan orang lain di belahan dunia yang jauh?
Immanuel Kant, filsuf dari abad ke-18, mungkin tidak pernah membayangkan dunia global yang penuh merek dan iklan seperti sekarang. Tetapi gagasan moralnya justru terasa semakin pas ketika kita terapkan pada saat ini. Kant mengatakan bahwa tindakan manusia harus tunduk pada hukum moral yang universal. Ia mengingatkan kita bahwa setiap manusia, tanpa kecuali, harus diperlakukan sebagai tujuan pada dirinya sendiri, bukan sekadar alat untuk mencapai keuntungan atau kesenangan. Jika kita terapkan pada konsumsi, muncul sebuah pertanyaan untuk kita renungkan, apakah barang-barang yang kita nikmati lahir dari proses yang menghormati martabat manusia, atau justru dari sistem yang menjadikan orang lain sekadar instrumen.
Konsumsi sebagai Pertemuan dengan Kemanusiaan
Sering kali kita menganggap konsumsi sebagai urusan pribadi, saya bekerja, saya punya uang, maka saya berhak membeli apa yang saya inginkan. Pandangan ini tampak wajar, tapi kalau kita menelisik lebih jauh, setiap barang yang kita konsumsi membawa jejak orang lain.
Kaos murah yang kita beli di toko bisa jadi dijahit oleh buruh pabrik yang bekerja belasan jam sehari dengan upah tak layak. Smartphone yang canggih mungkin mengandung logam hasil tambang anak-anak di Afrika yang dipaksa masuk ke lubang-lubang sempit. Bahkan secangkir kopi hangat di meja kita bisa jadi tidak pernah memberikan bayaran adil bagi petani yang menanamnya.
Kesadaran etis dalam konsumsi lahir ketika kita mulai menyadari keterhubungan ini. Tindakan sederhana membeli sesuatu ternyata bisa melibatkan rantai panjang kehidupan manusia lain. Kant menyodorkan sebuah cermin melalui imperatif kategoris. Ia meminta kita bertanya, jika semua orang melakukan hal yang sama, apakah itu bisa diterima secara universal? Dan apakah tindakan itu memperlakukan manusia lain sebagai tujuan, bukan sekadar alat?.
Mari bayangkan konsumsi fast fashion. Di permukaan, ia tampak menyenangkan, tren berganti cepat, harga murah, semua orang bisa tampil stylish. Tetapi ketika kita tahu kisah di baliknya, gedung pabrik yang roboh menewaskan ribuan buruh, pekerja perempuan yang tak pernah punya waktu beristirahat, maka membeli baju murah itu tidak lagi sesederhana yang terlihat. Mungkin Kant akan berkata, di sini manusia diperlakukan hanya sebagai sarana. Kita tidak bisa secara tulus menginginkan dunia di mana eksploitasi ini menjadi norma.
Hal yang sama berlaku untuk industri teknologi. Kita bangga memegang smartphone terbaru, tapi jarang memikirkan pekerja tambang kecil di Kongo yang mengais logam berharga untuk layar sentuh dan baterai kita. Mereka bekerja tanpa perlindungan, bahkan anak-anak pun ikut terlibat. Jika kita berhenti sejenak, kita sadar kalau gawai yang memudahkan hidup kita berdiri di atas penderitaan orang lain. Di titik inilah konsumsi berubah dari sekadar urusan pribadi menjadi pertemuan moral dengan sesama manusia.
Kant akan menegaskan, kewajiban kita adalah menghormati martabat mereka. Bukan karena itu menguntungkan kita, bukan pula karena ada imbalan tertentu, melainkan karena hukum moral mewajibkannya. Kesadaran etis berarti kita mulai membeli dengan mata yang lebih jernih maksudnya melihat bukan hanya barang, tetapi juga melihat kisah manusia yang ada di baliknya.
Dari Hasrat Menuju Tanggung Jawab
Tentu, menjalani kesadaran etis dalam konsumsi bukan hal yang mudah. Dunia global membuat rantai pasok sangat rumit. Sering kali kita tidak tahu siapa yang membuat barang kita, di mana ia dibuat, atau dalam kondisi apa. Bahkan produk yang disebut etis pun kadang masih menyimpan masalah tersembunyi.
Di sisi lain, ada keterbatasan ekonomi. Produk berkelanjutan dan fair trade biasanya lebih mahal. Tidak semua orang mampu memilihnya. Maka wajar jika ada perasaan dalam diri kita, apakah tuntutan Kantian ini terlalu berat bagi manusia biasa?
Namun justru di sinilah kekuatan refleksi Kantian. Bagi Kant, moralitas tidak diukur dari kemudahan atau keuntungan, tetapi dari kewajiban. Kesadaran etis dalam konsumsi bukan berarti kita harus hidup sempurna, tetapi kita dipanggil untuk berusaha sejauh yang kita mampu. Mungkin kita tidak bisa memastikan semua barang kita bebas dari eksploitasi, tapi kita bisa mulai dengan langkah kecil dengan mengurangi konsumsi berlebihan, mendukung produk lokal yang lebih adil, atau memilih kualitas daripada kuantitas.
Kesadaran etis juga tidak berhenti pada individu. Ia bisa meluas menjadi gerakan kolektif. Jika semakin banyak konsumen menuntut transparansi, maka perusahaan dipaksa berubah. Jika masyarakat mulai menolak barang dari eksploitasi, pasar akan mengikuti. Dengan kata lain, kesadaran kecil bisa menumbuhkan perubahan besar.
Pada titik ini, konsumsi tidak lagi sekadar pemenuhan hasrat, tetapi latihan tanggung jawab moral. Barang-barang yang kita beli menjadi cermin diri, apakah kita sedang menuruti keinginan tanpa peduli sesama, ataukah kita sedang belajar menghormati martabat orang lain? Kant mengingatkan bahwa manusia adalah makhluk rasional yang tunduk pada hukum moral. Dengan menghormati martabat orang lain dalam konsumsi, kita sekaligus menghormati martabat kita sendiri.
Kesadaran ini mengubah cara pandang kita terhadap dunia. Dari sekadar pembeli, kita menjadi bagian dari jaringan moral global. Dari sekadar konsumen, kita berubah menjadi subjek etis yang sadar bahwa setiap pilihan membawa konsekuensi bagi kehidupan orang lain. Kant akan berkata, hanya dengan cara ini kita sungguh-sungguh layak disebut manusia, makhluk yang bukan hanya menginginkan, tetapi juga bertanggung jawab.
Penutup
Konsumsi tidak pernah netral. Ia selalu membawa jejak manusia lain, entah kita sadari atau tidak. Filsafat moral Kant membantu kita melihat hal ini dengan jernih, melihat setiap pilihan konsumsi adalah keputusan moral. Imperatif kategoris menuntut kita untuk bertanya apakah prinsip konsumsi kita bisa berlaku universal dan apakah konsumsi kita menghormati manusia lain sebagai tujuan. Kesadaran etis dalam konsumsi bukan sekadar gaya hidup, melainkan panggilan moral. Sulit, ya. Tetapi justru di situlah nilai moral diuji, ketika kita berani menolak kenyamanan yang lahir dari penderitaan orang lain, dan ketika kita berusaha, meski dengan langkah kecil mencari jalan konsumsi yang lebih adil.
Pada akhirnya, setiap barang yang kita genggam adalah juga kisah manusia lain. Dengan setiap pilihan konsumsi, kita sedang memutuskan apakah saya menghormati kisah itu, ataukah saya mengabaikannya? Kant akan menuntun kita untuk memilih yang pertama, karena hanya dengan begitu kita sungguh menghargai kemanusiaan, baik dalam diri kita sendiri maupun dalam diri orang lain.
Wawan Sutaji