Beranda Literasi- Fanatisme merupakan salah satu masalah serius yang masih membelenggu masyarakat, baik dalam ranah politik, agama, maupun budaya populer. Fanatisme sering kali dimaknai sebagai keterikatan berlebihan pada suatu keyakinan atau kelompok hingga menutup ruang bagi kritik dan refleksi. Dalam bentuk ekstrem, fanatisme dapat melahirkan sikap intoleran, diskriminatif, bahkan tindak kekerasan. Fenomena ini membahayakan kehidupan sosial karena mengikis kemampuan manusia untuk berpikir kritis dan objektif. René Descartes, filsuf besar dari abad ke-17, menawarkan sebuah metode yang dapat dijadikan sarana melawan fanatisme, yakni metode keraguan (methodical doubt). Bagi Descartes, jalan menuju pengetahuan sejati harus dimulai dengan keberanian untuk meragukan segala sesuatu. Keraguan bukanlah akhir, melainkan alat untuk menyaring keyakinan yang rapuh hingga ditemukan dasar yang benar-benar kokoh. Pembahasan dalam esai ini akan menguraikan bagaimana metode keraguan Descartes dapat digunakan sebagai strategi filosofis untuk meredam fanatisme dalam masyarakat.
Bahaya dari Fanatisme
Fanatisme pada dasarnya menutup kemungkinan adanya keraguan. Seorang fanatik memegang keyakinan tertentu seolah-olah ia adalah kebenaran absolut yang tidak boleh diganggu gugat. Fanatisme politik, misalnya, membuat sebagian orang membela tokoh atau partai tertentu tanpa melihat fakta objektif. Demikian pula dengan fanatisme agama kadang melahirkan klaim kebenaran tunggal yang menolak keberadaan tafsir lain. Bahaya terbesar fanatisme adalah hilangnya ruang kritis. Individu tidak lagi bertanya, Apakah keyakinan ini benar? melainkan hanya mempertahankan loyalitas kelompok. Dengan cara pandang seperti itu, masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi dan konflik, karena setiap kelompok merasa memiliki kebenaran yang mutlak.
Metode keraguan dari Descartes
Descartes mengembangkan metode keraguan dengan tujuan menemukan dasar pengetahuan yang tidak dapat diragukan lagi. Ia berani meragukan indra, tradisi, bahkan keyakinan yang diwariskan. Keraguan di sini bukan sekadar skeptisisme destruktif, melainkan cara sistematis untuk menguji setiap klaim kebenaran.
Prinsip utama metode ini adalah, jika ada sedikit saja alasan untuk meragukan suatu keyakinan, maka keyakinan itu tidak dapat dijadikan fondasi yang kokoh. Dengan demikian, keraguan berfungsi sebagai filter yang memisahkan antara opini rapuh dan pengetahuan yang benar-benar valid.
Obat Anti Fanatisme
Jika diterapkan dalam konteks sosial, metode keraguan Descartes dapat menjadi obat yang ampuh melawan fanatisme. Beberapa hal dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Menyaring Informasi, Fanatisme sering dipelihara oleh informasi sepihak atau hoaks. Dengan sikap meragukan, masyarakat tidak akan langsung percaya, melainkan terlebih dahulu memeriksa kebenaran informasi itu.
2. Mencegah Dogmatisme, Keraguan mencegah seseorang menerima keyakinan secara buta. Ia selalu membuka ruang untuk bertanya, Apakah ada dasar yang cukup kuat bagi pandangan ini? Dengan demikian, dogma yang tidak memiliki argumen rasional akan runtuh.
3. Mendorong Dialog, Orang yang berani meragukan tidak akan merasa bahwa pandangannya adalah satu-satunya kebenaran. Ia menyadari kemungkinan adanya kebenaran lain di luar dirinya. Kesadaran ini membuka jalan bagi dialog lintas kelompok.
4. Membangun Toleransi, Fanatisme menolak perbedaan, sedangkan keraguan mengajarkan sikap rendah hati epistemologis. Karena menyadari keterbatasan pengetahuan, seseorang menjadi lebih toleran terhadap pandangan berbeda.
Implementasi di Masyarakat Kita
Masyarakat Indonesia yang plural dan demokratis sangat membutuhkan penerapan metode keraguan. Pertama, pendidikan perlu memberi ruang bagi pembelajaran kritis, bukan hanya penghafalan. Siswa harus dilatih untuk berani bertanya dan menimbang kebenaran secara mandiri. Kedua, literasi digital harus ditingkatkan agar masyarakat terbiasa meragukan informasi yang beredar di media sosial sebelum mempercayainya. Ketiga, budaya diskusi perlu diperkuat, baik dalam forum formal maupun informal, sehingga keraguan dapat dikelola menjadi percakapan yang sehat, bukan pertentangan emosional.
Kesimpulan
Fanatisme adalah ancaman bagi kebebasan berpikir dan kerukunan sosial. Ia lahir dari keyakinan yang tidak mau dipertanyakan lagi. Descartes melalui metode keraguannya menawarkan jalan untuk membebaskan diri dari belenggu tersebut. Dengan berani meragukan, manusia mampu menyaring keyakinan rapuh, mencegah dogmatisme, dan membuka ruang dialog yang toleran. Dengan demikian, metode keraguan dapat dipahami sebagai obat anti fanatisme. Ia melatih masyarakat untuk tidak menerima kebenaran secara buta, melainkan selalu menimbang dan menguji. Jika prinsip ini dapat dihidupkan dalam kehidupan sosial Indonesia, maka fanatisme dapat digantikan oleh sikap kritis, terbuka, dan penuh kesadaran. Dan akhirnya keraguan bukanlah tanda kelemahan, melainkan pintu menuju kebijaksanaan.
Wawan Sutaji
