Hidup dalam Panoptikum


Beranda Literasi- Ada masa ketika pengawasan terasa jauh, hanya terjadi di ruang-ruang tertentu, di kantor birokrasi, di sekolah, di penjara. Michel Foucault pernah mengingatkan kita tentang panoptikum, rancangan penjara oleh Jeremy Bentham yaitu sebuah menara pengawas di tengah, dikelilingi sel-sel yang dapat dilihat setiap saat, meski para tahanan tak pernah tahu kapan mereka sedang diawasi. Efeknya sederhana tetapi menghantui, meskipun pengawas mungkin tak sedang memperhatikan, para tahanan hidup seolah-olah selalu dalam pandangan mata. Disiplin lahir bukan dari paksaan langsung, melainkan dari rasa diawasi yang tak pernah hilang.

Kini, kita hidup dalam versi yang lebih halus, lebih luas, dan jauh lebih melelahkan, panoptikon digital. Kita tidak lagi berada di sel, kita yang menciptakan sel itu sendiri dengan penuh sukarela, memasang kamera di tangan, di kantong, di ruang tamu. Mata yang mengawasi bukan satu menara, melainkan ribuan layar yang bersinar serentak di seluruh dunia. Kita bukan sekadar diawasi, tapi kita menyiarkan diri, berharap diawasi, berharap diperhatikan. Jika dulu pengawasan mengekang, kini ia merayu dengan menjanjikan keviralan, terkenal, mungkin kaya.


Dalam dunia panoptikum digital, keterlihatan menjadi mata uang. Kita belajar sejak dini bahwa ada nilai dalam diperhatikan. Seorang remaja yang membuat video singkat di TikTok tahu bahwa algoritma bisa mendongkraknya dari anonim menjadi sorotan semalam. Seorang ibu rumah tangga yang merekam kehidupannya di Facebook Live mendapati dirinya dilihat ratusan orang yang tak pernah ia kenal. Setiap gerakan, setiap kata, setiap tawa bisa menjadi bahan tontonan. Tidak ada batas yang jelas antara yang pribadi dan yang publik, batas itu telah dilarutkan oleh keinginan untuk tampak.


Dan di sinilah kehalusan panoptikum digital bekerja tapi kita tidak merasa terpaksa, tidak ada sipir yang berteriak dan idak ada pagar besi. Justru kita yang berlomba menempatkan diri dalam ruang keterlihatan. Kita menyesuaikan cara bicara, gaya berpakaian, bahkan ritme hidup agar selaras dengan selera algoritma. Disiplin baru itu tidak kasar, melainkan persuasif. Ia mengajarkan bahwa bila ingin eksis, kita harus patuh pada logika yang tak pernah dituliskan tetapi kita pahami bersama, singkat, emosional, mengejutkan, mengundang reaksi.


Foucault menulis bahwa kekuasaan modern bekerja bukan hanya dengan melarang, tetapi dengan mengarahkan, melatih, mendisiplinkan tubuh dan jiwa. Kita bisa melihatnya hari ini dalam cara orang mengatur kehidupannya agar kompatibel dengan algoritma. Konten harus diproduksi terus menerus, tak boleh berhenti, karena ketika menjedanya mengakibatkan kematian dalam logika visibilitas. Orang-orang merekam dirinya makan, berjalan, bercanda, bahkan menangis. Hal ini bukan sekadar untuk mengingat, tetapi untuk memastikan bahwa momen itu terlihat oleh orang lain. Dalam panoptikum digital, eksistensi kita seolah baru sah bila ada jejaknya di layar orang lain.


Namun, adakah kita sungguh menyadari harga dari keterlihatan itu? Ketika seseorang memalsukan kesedihan demi simpati, atau mempertontonkan konflik keluarga demi tontonan, ia mungkin meraih angka dari like, view, share. Tetapi secara perlahan, batas antara yang nyata dan yang performatif kabur. Hidup sehari-hari berubah menjadi panggung. Kita menjadi aktor yang lupa pada naskah asli kehidupannya sendiri, karena begitu sibuk menyusun adegan agar sesuai selera penonton. Baudrillard menyebutnya hiperrealitas yang berarti tanda-tanda dan simulasi menjadi lebih nyata daripada kenyataan itu sendiri.


Panoptikum digital lebih menakutkan daripada yang dibayangkan Bentham. Dalam panoptikum klasik, kita masih tahu siapa sipirnya, siapa yang berkuasa. Kini, pengawas itu tak berwujud, ia adalah algoritma yang disusun oleh perusahaan teknologi, dimodifikasi setiap detik, tak pernah transparan. Kita tidak tahu persis bagaimana ia memilih, tetapi kita tahu ia memilih. Dan ketidaktahuan itu yang membuat kita tunduk, mengarahkan kita untuk terus belajar membaca tanda-tanda samar, mencoba memahami pola, menyesuaikan diri agar tak tersingkir dari arus. Disiplin bekerja bukan melalui ketegasan, melainkan melalui kabut yang membingungkan.


Lebih jauh lagi, panoptikum digital meluas ke ruang-ruang paling intim. Ketika kita tidur, telepon di samping kepala mencatat kebiasaan kita, ketika kita berbelanja jejak klik kita dianalisis, ketika kita bicara mikrofon mungkin mendengarkan. Tubuh kita, pilihan kita, emosi kita, semuanya direduksi menjadi data. Dan data itu bukan diam, melaikan menjadi bahan ramuan yang menentukan iklan apa yang muncul, konten apa yang disarankan, bahkan wacana apa yang mengisi ruang publik. Kita hidup dalam ekosistem di mana pengawasan tak lagi terasa eksternal, karena sudah meresap ke dalam kebiasaan sehari-hari.


Namun anehnya, kita jarang merasa ini sebagai penjara. Sebaliknya, banyak yang menyebutnya kebebasan. Kita merasa bebas mengunggah, bebas berbagi, bebas mengekspresikan diri. Inilah menurut saya ironi yang paling tajam, panoptikum digital berfungsi justru karena kita mengira diri kita bebas. Kita memperkuat rantai dengan tangan sendiri, lalu menyebutnya gelang hiasan. Kita bangga dengan keterlihatan kita, meski di balik itu tubuh kita diprogram untuk tunduk pada ritme yang ditentukan mesin. 


Sekarang, apa yang tersisa untuk kita? Barangkali bukan penolakan mutlak, karena menolak berarti keluar dari hampir seluruh jaringan kehidupan modern. Tetapi kesadaran kritis bisa menjadi titik awal. Menyadari bahwa keterlihatan bukanlah satu-satunya bentuk eksistensi, bahwa tidak semua momen perlu dijadikan tontonan, bahwa ada kebebasan dalam menyimpan, dalam merahasiakan, dalam tidak tampil.


Mungkin inilah bentuk perlawanan kecil yang bisa kita lakukan terhadap panoptikum digital dengan merawat ruang yang tak terlihat. Ruang di mana kita tidak sedang menjadi konten, tidak sedang diukur, tidak sedang dinilai. Ruang di mana kita bisa hidup sebagai diri, bukan sebagai aktor yang terus-menerus diawasi. Dalam ruang semacam itu, kita bisa mengingat bahwa sebelum ada algoritma, sebelum ada layar, manusia sudah punya martabat. Martabat itu tidak bergantung pada berapa banyak orang yang melihat, tetapi pada bagaimana kita menjalani hidup dengan kesadaran, dengan tanggung jawab dan dengan kebebasan yang sesungguhnya.


Wawan Sutaji

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama