Ragu Pada Iman Sendiri, Marah Pada Iman Orang Lain

Beranda Literasi- Mengapa engkau marah pada iman orang lain, padahal engkau sendiri masih ragu pada imanmu? Kalimat ini seperti cermin yang retak, memantulkan wajah kita yang sibuk mengutuk, padahal dasarnya goyah. Jika Voltaire hidup di zaman media sosial dan politik identitas, ia mungkin tidak akan mengubah banyak inti kritiknya, dengan cara menyampaikannya lebih tajam, lebih sinis dan tentu saja berbalut humor yang menusuk.


Voltaire mengajarkan kita dua hal sederhana tetapi tetap berdampak besar, ajakan tersebut adalah berani meragukan otoritas dan mengutamakan toleransi. Skeptisisme bukan agenda untuk menghilangkan iman, tapi ia adalah alat untuk membersihkan kepalsuan. Di tangan Voltaire, keraguan menjadi kebajikan yang menuntut kejujuran, bukan hanya pada Tuhan, melainkan pada diri sendiri. Ketika seseorang berteriak paling keras tentang kebenaran ilahinya, sering kali yang terdengar bukanlah keyakinan, melainkan kecemasan yang tersamarkan.


Kemunafikan religius muncul ketika ritual menggantikan refleksi, simbol menggeser substansi dan pamer moral menutupi kelemahan spiritual. Banyak orang lebih tertarik membuktikan bahwa mereka benar daripada bertanya mengapa mereka percaya. Agama yang seharusnya menumbuhkan belas kasih menjadi alat pembenaran serba cepat membenarkan prasangka, mengecualikan tetangga atau malah menutupi ambisi duniawi. Voltaire akan mengejek kebiasaan itu bukan dengan celaan kasar, melainkan dengan sindiran yang memperlihatkan absurditasnya, orang yang mengklaim suci namun hati dan tindakannya lebih mementingkan isi perut dan jabatannya.


Mengapa kemarahan terhadap iman orang lain begitu mudah menyala? Sederhananya karena amarah itu sering lahir dari rasa takut. Takut kehilangan identitas, takut tergeser, takut keyakinan sendiri runtuh jika menghadapi keberagaman. Ketika iman menjadi identitas politik dan alat mengukuhkan posisi sosial, setiap perbedaan dianggap ancaman, bukan kesempatan untuk berdialog. Voltaire tahu bahwa intoleransi bukan hanya dosa intelektual, lebih dari itu ia adalah penyakit sosial yang menyebar lewat ketidaktahuan dan kepongahan.


Dampaknya nyata. Dalam ruang publik, kemunafikan membunuh diskursus jujur. Dialog berubah menjadi pertandingan skor moral artinya, siapa paling vokal, dialah yang menang, meskipun argumennya kosong. Komunitas yang seharusnya saling menjaga menjadi retak karena kecurigaan yang dibalut agama. Akhirnya, yang dirugikan bukan hanya minoritas yang disudutkan, melainkan semua orang, karena masyarakat kehilangan kemampuan introspeksi, empati dan kebijaksanaan kolektif.


Voltaire menempatkan satire sebagai obat. Satire bukan sekadar menertawakan, ia membuka mata dengan sengatan tawa. Ketika kita mampu menertawakan kebodohan sendiri, kita memberi ruang bagi perbaikan. Namun satire juga memerlukan etika, bukan untuk menjatuhkan manusia, melainkan untuk menantang struktur yang menghasilkan kebohongan berkedok kesalehan. Kritik yang bijak menuntut keseimbangan antara kecerdasan dan belas kasih, dengan cara mengarahkan, bukan menghancurkan.


Apa jalan keluar dari lingkaran setan ini? Pertama, jujur pada diri sendiri. Mengakui keraguan bukanlah tanda kelemahan, ia adalah tanda kematangan rohani. Orang yang sanggup berkata, Aku tidak tahu, lebih berpotensi untuk belajar daripada yang pantang mengakui salah. Kedua, kembalikan ritual kepada maknanya, ajaran agama yang hidup harus menguatkan empati, bukan membenarkan pengucilan. Ketiga, bangun ruang publik yang aman untuk debat kritis, tempat di mana keraguan diterima dan bukan dihukum.


Pendidikan memainkan peran kunci. Voltaire percaya pendidikan yang menumbuhkan nalar dan rasa kemanusiaan akan meredam fanatisme. Bukan pendidikan dogmatis yang mengajarkan jawaban siap pakai, melainkan pendidikan yang melatih bertanya, mendengarkan dan berpikir kompleks. Di sini, literasi termasuk literasi agama menjadi perisai terhadap manipulasi yang memanfaatkan sentimen religius.


Ada juga dimensi politik yang tak boleh diabaikan. Ketika kekuasaan memanfaatkan agama untuk mempertahankan dominasi, kritik harus diarahkan pada praktik politik itu, bukan pada individu beriman. Voltaire mengajarkan bahwa melawan penyalahgunaan otoritas adalah tindakan moral, ia bukan serangan terhadap iman, melainkan upaya mempertahankan kebenaran dan keadilan. Kritik yang cerdas memisahkan iman pribadi dari alat politik yang memanfaatkannya.


Akhirnya, kita butuh etika percakapan. Toleransi bukan pasif, ia aktif dan menuntut keberanian, berani berdialog, berani mengakui kesalahan dan berani merangkul ambiguitas. Ketika kita menumbuhkan rasa ingin tahu terhadap keyakinan lain bukan untuk menyerang, tetapi untuk memahami, kita membunuh racun kebencian secara perlahan. Voltaire mungkin berkata, sambil tersenyum sinis, bahwa toleransi adalah seni hidup beradab, seni yang menuntut latihan terus-menerus.


Kesimpulannya, kalimat yang kita mulai dengan itu menyodorkan sebuah undangan, berhenti memproyeksikan keraguan diri menjadi kemarahan pada orang lain. Voltaire mengajarkan kita bahwa kemunafikan bukan hanya masalah moral individual, ia problem sosial yang butuh penyembuhan melalui pendidikan, dialog, dan keberanian menjadi jujur. Jika kita ingin meniru Voltaire, mari kita gunakan kecerdikan sebagai pisau pembedah, bukan sebagai senjata, mari kita jadikan keraguan sebagai cahaya yang menyinari, bukan sebagai alasan untuk menyalakan api permusuhan. Dalam dunia yang bising ini, mungkin langkah paling revolusioner adalah sederhana, merendahkan diri, membuka telinga, dan berkata, Aku mungkin salah. Itu sudah cukup untuk memulai percakapan yang lebih manusiawi.


Wawan Sutaji

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama