Beranda Literasi - Sekolah dipandang sebagai
tempat pengetahuan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Dinding kelas dipenuhi poster, jadwal pelajaran tersusun rapi, guru
menyampaikan materi, murid mencatat, dan ujian berlangsung sesuai kalender
akademik. Semua tampak teratur. Di balik keteraturan itu terdapat sesuatu yang
makin melemah, yaitu rasa ingin tahu yang semestinya menjadi inti dari proses
belajar.
Rasa ingin tahu adalah dasar
dari setiap pengetahuan. Pertanyaan-pertanyaan kecil yang muncul dalam diri
manusia telah mengubah sejarah. Galileo meragukan pandangan umum tentang gerak
benda. Darwin bertanya mengenai asal-usul spesies. John Dewey menekankan
pengalaman sebagai fondasi pendidikan. Dari berbagai tokoh itu terlihat bahwa
pengetahuan lahir dari kegelisahan untuk memahami lebih jauh. Tanpa dorongan
bertanya, pendidikan kehilangan arah.
Kegagalan sekolah
menumbuhkan rasa ingin tahu berawal dari cara memahami belajar. Belajar sering
dipersempit menjadi penguasaan materi yang terukur dalam angka rapor.
Pertanyaan yang muncul di kelas diarahkan sekadar untuk menguji ingatan murid,
bukan membuka jalan menuju pemahaman. Murid yang mengajukan pertanyaan di luar
teks dianggap mengganggu alur pembelajaran. Situasi seperti ini membuat
keingintahuan tersisih dari ruang kelas.
Gambar 1. Situasi Kelas (Sumber: https://idn.freepik.com/)
Guru menghadapi
tekanan yang berlapis. Mereka tahu pertanyaan adalah tanda hidupnya pikiran.
Akan tetapi, beban administrasi, target kurikulum, dan tuntutan ujian menutup
peluang untuk merespons pertanyaan secara terbuka. Guru kehilangan keleluasaan
untuk menjadi pendamping dalam pencarian makna. Posisi mereka menyempit pada
peran sebagai penyampai informasi.
Dampak dari pola
tersebut terlihat jelas. Murid mampu menjawab soal ujian dengan benar, tetapi
tidak memahami kaitannya dengan kehidupan nyata. Mereka hafal definisi
demokrasi, tetapi tidak terampil menerapkannya dalam percakapan sehari-hari.
Mereka menguasai rumus matematika, tetapi tidak mengalami kegembiraan saat
menemukan pola. Sekolah terjebak dalam logika standar kognitif, sementara daya
hidup rasa ingin tahu perlahan menghilang.
Pengetahuan selalu
terbuka terhadap pertanyaan baru. Akan tetapi, sekolah sering lebih
mengutamakan kepastian jawaban. Murid belajar untuk mencari jawaban yang benar
menurut buku, bukan untuk mengeksplorasi persoalan yang mereka hadapi. Tradisi
semacam ini menjadikan kepatuhan lebih dihargai daripada keberanian berpikir.
Pemikir pendidikan
modern telah lama mengingatkan bahaya situasi tersebut. John Dewey menegaskan
bahwa pendidikan adalah kehidupan itu sendiri. Belajar tidak berhenti pada
penerimaan informasi, melainkan keterlibatan dalam pengalaman yang nyata. Paulo
Freire menyoroti pola pendidikan gaya bank, di mana guru seolah menaruh
pengetahuan ke dalam benak murid. Pola itu menjadikan kelas sebagai ruang pasif
yang kering dari pertanyaan.
Perubahan arah
pendidikan memerlukan keberanian. Guru tidak harus selalu menyiapkan jawaban.
Peran yang lebih penting adalah menunjukkan cara mencari jawaban. Dengan
begitu, pertanyaan murid menjadi bagian dari perjalanan pengetahuan. Kelas
dapat menjadi ruang percakapan yang hidup, bukan ruang yang menunggu jawaban
tunggal.
Kurikulum juga perlu
dipahami sebagai peta awal, bukan daftar yang harus diselesaikan tanpa ruang
improvisasi. Dalam perjalanan belajar, murid berhak menemukan keterkaitan
antara pengetahuan dan kehidupan mereka. Proyek sederhana, riset kecil, atau
percobaan terbuka memberi peluang bagi murid untuk menyadari bahwa ilmu
berkembang seiring dengan keberanian bertanya.
Sistem evaluasi perlu
bergerak ke arah yang lebih mendorong kreativitas. Selama penilaian hanya
menimbang reproduksi pengetahuan, rasa ingin tahu tetap tidak mendapat tempat.
Evaluasi yang memberi bobot pada proses, keberanian bertanya, dan orisinalitas
akan memperlihatkan orientasi baru. Murid melihat bahwa pendidikan menghargai
upaya mencari, bukan sekadar hasil ujian.
Langkah-langkah
tersebut menuntut keberanian dari semua pihak. Kita terlalu lama membiasakan
hafalan. Guru ditempatkan sebagai pelaksana kurikulum. Nilai ujian dijadikan
ukuran keberhasilan sekolah. Semua ini membentuk kebiasaan yang membelenggu.
Membongkar kebiasaan lama memang sulit, tetapi perubahan tidak akan pernah
lahir tanpa upaya melepaskan diri dari pola yang sudah mapan.
Rasa ingin tahu
adalah nyawa dari pendidikan. Tanpa dorongan itu, sekolah tidak lebih dari
ruang pengulangan yang kering makna. Pendidikan yang gagal menumbuhkan rasa
ingin tahu berarti gagal menjalankan misi paling mendasar, yaitu memanusiakan
manusia.
Penulis: Beranda Literasi