Sebelum Pulang, M. Aan Mansyur


Sebelum Pulang

Karya: M. Aan Mansyur


Aku ingin jadi matahari yang gelap

melebihi puisi yang hidup dalam

kemiskinan bahasa


Kata-kata yang selalu berjuang

memeluk tubuh yang tidak ada

Seperti usaha sia-sia mencari

sesuatu yang bisa mengganti udara


Puisi ini ialah bayangan yang gamang:

Apakah tubuh kita, adalah bayangan

tubuh kata?

Aku sendiri dan kekosonganku terlalu

berat untuk kutanggung

tidak ada siapapun yang bisa

kuminta tinggal 


Aku tidak pernah mengatakan:

jangan pergi. 

Adakah matahari yang gelap

melebihi puisi?

Tujuan hidupku hari ini:

Aku ingin tahu.


Pembacaan

Puisi Sebelum Pulang dibuka dengan paradoks "Aku ingin jadi matahari yang gelap". Dalam kerangka Semiotika, frasa itu adalah tanda yang menentang makna lazim. Matahari biasanya dimaknai sebagai terang, kehidupan, dan kehangatan. Namun, ketika ia disebut gelap, terjadi penyimpangan makna yang melahirkan ambiguitas. Tanda matahari gelap dapat dibaca sebagai simbol keterputusan, ketiadaan arah, atau cahaya yang gagal. Dengan demikian, penyair memanfaatkan oposisi biner terang-gelap, ada-tiada, bahasa-kemiskinan bahasa, untuk menunjukkan kegamangan eksistensial.


Puisi ini menghadirkan proses penafsiran atas makna kehadiran dan ketiadaan, ketika kita lihat menurut sudut pandang hermeneutika. Kata-kata digambarkan "berjuang memeluk tubuh yang tidak ada”, seolah bahasa itu sendiri tidak mampu merangkul kenyataan. Puisi menjadi bayangan rapuh, yang justru menyingkap jurang antara kata dan pengalaman hidup. Pertanyaan reflektif, "Apakah tubuh kita, adalah bayangan tubuh kata?" mengandung pencarian filosofis tentang apakah manusia didefinisikan oleh bahasa, ataukah bahasa hanya menempel sebagai refleksi semu? Dengan hermeneutika, kita melihat penyair sedang menafsir ulang hubungan antara eksistensi manusia, bahasa, dan makna yang terus menghindar.


kita coba lebih dekat pada pengalaman batin si penyair dengan fenomenologis. Ada kesepian yang pekat, “Aku sendiri dan kekosonganku terlalu berat untuk kutanggung.” Kekosongan ini bukan hanya metafora, melainkan pengalaman eksistensial yang dialami tubuh dan kesadaran. Fenomenologi memandang bahwa makna lahir dari bagaimana sesuatu dialami. Kekosongan, dalam hal ini, dialami sebagai beban nyata, sebagai ruang sunyi tempat kehadiran lain tidak bisa diminta “tinggal.” Maka, pengalaman “tidak pernah mengatakan; jangan pergi” adalah cara tubuh dan kesadaran menerima keterasingan, tanpa daya menahan.


Diakhir puisi kalimat penutup "Adakah matahari yang gelap melebihi puisi? Tujuan hidupku hari ini: Aku ingin tahu" Dalam semiotika, ini adalah pertanyaan tentang tanda yang melampaui bahasa. Dalam hermeneutika, ini adalah keterbukaan terhadap makna yang tak pernah selesai. Dalam fenomenologi, ini adalah intensionalitas, kesadaran yang selalu diarahkan pada sesuatu, dalam hal ini keinginan untuk memahami. Puisi menjadi perjalanan pulang yang tertunda, pulang pada makna, pada terang, atau mungkin justru pada kegelapan yang tak bisa diuraikan. Dengan demikian, puisi sebelum pulang adalah meditasi eksistensial tentang keterbatasan bahasa, kesepian manusia, dan pencarian makna yang terus berputar di antara terang dan gelap.


Wawan Sutaji

1 Komentar

Lebih baru Lebih lama