Semiotika: Sebuah Model Pendekatan


Semiotika didefinisikan oleh Ferdinand de Saussure di dalam Course in General Linguistic sebagai “ilmu yang mengkaji tentang tanda sebagai bagian dari kehidupan social”. Pada definisi ini bahwa tanda yang menjadi objek semiotika adalah “tanda sebagai bagian dari kehidupan social” bukan tanda sebagai dirinya sendiri.  Tanda dalam kajian semiotika terkait dengan strukturnya di ruang social, karena itu konteks waktu, perubahan, dan sejarah dari tanda itu diabaikan. Pengkajian semiotika lebih sinkronik daripada diakronik.
CS Morris menjelaskan tiga dimensi analisis semiotika, yakni dimensi sintaktik, semantic dan paradigmatik. Ketiga dimensi ini saling berhubungan
Sintaktik  berkaitan dengan studi mengenai tanda itu sendiri secara individual maupun kombinasinyta, khususnya analisis yang bersifat deskriptif mengenai tanda dan kombinasinya. Semantik adalah studi mengenai tanda dan maknanya. Pragmatik adalah studi mengenai relasi antar tanda dan penggunanya, khususnya yang berkaitan dengan penggunaan tanda secara konkrit dalam berbagai peristwa serta efek atau dampaknya terhadap pengguna. Pragmatik terkait dengan nilai, maksud dan tujuan dari sebuah tanda yang menjawab pertanyaan: untuk apa dan kenapa, serta pertanyaan mengenai pertukaran dan nilai utilitas tanda bagi pengguna.
Level
Sintaktik
Semantik
Pragmatik

Sifat
Penelitian tentang struktur dan kombinasi tanda
Penelitian tentang makna tanda atau teks
Penelitian tentang penerimaan dan efak tanda pada masyarakat

Elemen
Penanda/petanda
Sintagma/sistem
Konotasi/denotasi
Metafora/metonimi
Structural
Kontekstual
Denotasi
Konotasi
Ideology/makna
Reception
Exchange
Discourse
Efek (psikologi, ekonomi, social, gaya hidup)

Pada table Morris ini ada beberapa istilah kunci semiotika seperti penanda/petanda, sintagma/sistem, konotasi/denotasi, dan seterusnya. Kesemuanya akan dikemukakan pada bagian berikutnya, namun sebagai tahap awal dapat dikemukakan  gambaran umumnya. Kesemua yang ada dalam table ini dapat disebut sebagai elemen tanda, yakni tanda (penanda/petanda), aksis tanda (sintagma/sistem), tingkatan tanda (denotasi/konotasi), dan relasi tanda (metafora/metonimia).

Komponen Tanda
Saussure memandang tanda sebagai kesatuan yang tak dapat dipisahkan dari dua bidang –seperti halnya selembar kertas—yaitu bidang penanda ( yang menandai, berupa bentuk atau ekspresi) dan bidang petanda (yang ditandai, konsep atau makna).

Hubungan antara  penanda dan petanda ini bersifat arbitrer, bukan hubungan logis. Jadi tidak ada kelogisan mengenai kenapa penanda “bunga” mewakili konsep bunga, kenapa kata “rumah” mewakili konsep rumah. Semuanya terjadi karena kesepakatan masyarakat pengguna bahasa tersebut. 

Aksis Tanda
Bahasa adalah struktur yang dikendalikan oleh aturan main tertentu. Bahasa bisa digunakan jika kita mengikuti aturan mainnya. Aturan main bahasa, menurut Saussure, adalah bahwa dalam bahasa hanya ada prinsip perbedaan. Misalnya, tidak ada hubungan keharusan antara kata topi (penanda) dan sebuah benda yang kita pakai sebagai penutup kepala (petanda). Hal yang memungkinkan terjadinya hubungan antara penanda dan petanda adalah perbedaan antara topi, tapi, tape, kopi, dan seterusnya. Kata-kata mempunyai makna disebabkan di antara kata-kaya itu ada perbedaan, disebabkan mereka berada dalam relasi perbedaan. Jadi, yang pertama dilihat di dalam kajian strukturalisme semiotika adalah relasi, bukan hakikat tanda itu sendiri.  
Perbedaan dalam bahasa ini, bagi Saussure, hanya dimungkinkan lewat beroperasinya dua aksis bahasa, yakni aksis paradigmatic dan aksis sintagmatik. Aksis paradigmatic adalah perbendahaaan tanda atau kata (seperti kamus) yang melaluinya pilihan-pilihan dibuat dan hanya satu unit dari pilihan itu yang dapat dipilih. Aksis sintagmatik adalah cara pemilihan dan pengombinasian perbendaharaan kata tersebut berdasarkan aturan atau kode tertentu sehingga dapat menghasilkan makna tertentu (piliang, 2011:162). 
Cara pengombinasian ini biasanya dilandasi koden tertentu yang berlaku di sebuah komunitas bahasa. Kode adalah seperangkat aturan (konvensi) bersama yang di dalamnya tanda-tanda dapat dikombinasikan sehingga memungkinkan pesan dikomunikasikan dari seseorang ke seseorang yang lain.
Berdasarkan aksis bahasa yang dikembangkan Saussure ini, Barthes mengembangkan sebuah model relasi antar apa yang disebutnya sebagai sistem dan sintagma. Sistem adalah perbendaharaan tanda (kata, visual, gambar, benda), sedang sintagma adalah cara pengkombinasian tanda berdasarkan aturan main tertentu.
Aksis bahasa yang dikembangkan Saussure dan Barthes ini sangat penting dalam penelitian, karena dapat membuat pemetaan struktur di balik berbagai sistem. 
Tingkatan Tanda
Roland Barthes mengembangkan dua tingkatan pertandaan yang memungkinkan untuk dihasilkannya makna yang juga bertingkat, yakni tingkat denotasi dan konotasi.
Tanda 🡪 Denotasi 🡪 Konotasi (kode)🡪 Mitos
Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, atau antara tanda dan rujukannya pada realitas yang menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Makna denotasi dalam hal ini adalah makna pada apa yang tampak. Misalnya foto wajah Soeharto  berarti wajah Soeharto yang sesungguhnyta. Denotasi adalah tanda yang penandanya mempunyai tingkat konvensi atau kesepakatan yang tinggi. 
Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti (terbuka terhadap berbagai kemungkinan). Ia menciptakan makna-makna lapis kedua yang terbentuk ketika penanda dikaitkan dengan berbagai aspek psikologis seperti perasaan, emosi atau keyakinan. Misalnta tanda bunga yang dikonotasikan sebagai kasih saying. Konotasi yang menghasilkan makna lapis kedua yang bersifat implicit, tersembunyi, disebut makna konotatif.
Mitos dalam pemahaman makna Barthes adalah pengkodena makna dan nilai-nilai social (yang sebenarnya arbitrer atau konotatif) sbagai sesuatu yang dianggap alamiah.  (2012: 304-305)

Relasi antar Tanda 
Selain kombinasi tanda, analisis semiotika huga berupata mengungkap interaksi di antara tanda-tanda. Meskipun bentuk interaksi di antara tanda-tanda ini terbuka, akan tetapi ada dua jenis interaksi utama, yakni metafora dan metonimi.
Metafora adalah model interaksi tanda, yang di dalamnya tanda dari sebuah sistem digunakan untuk menjelaskan makna untuk sistem yang lainnya. Misalnya metafora keras kepala untuk pendirian seseorang yang tak mau dirubah. Metonomia adalah interaksi tanda, yang di dalamnya tanda diasosiasikan dengan tanda lain yang di dalamnya terdapat hubungan bagian dengan keseluruhan. Misalnya, tanda botol untuk mewakili pemabuk, atan tanda mahkota untuk mewajiki kerajaan. 
*
Pada analisis secara individual dapat digunakan model analisis tanda seperti analisis tipologi tanda, struktur tanda, dan makna tanda. Di antara teori tentang tipologi tanda dalam menggunakan pengelompokan yang cilakukan Charles Sander Pierce menganai indeks, ikon, dan symbol. Indeks adalah tanda yang memiliki hubungan penanda dan petanda secara kausal, misalnya hubungan asap dan api; begitu melihat asap (penanda) kita pun terhubung dengan api (petanda). Ikon  adalah tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya bersifat keserupaan (similitude). Simbol adalah tanda yang hubungan penanda dan petandanya bersifat arbitrer atau konvensional. 
Sementara analisis tanda di dalam kelompok atau kombinasinya disebut analisis teks. Teks, di sini secara sederhana, diartikan sebagai “sebuah kombinasi tanda-tanda”. Setelah menganalisis tanda dari sisi jenis, struktur, dan makna, analisis teks meneruskannya dengan menganalisis pemilihan tanda-tanda yang dikombinasikan ke dalam pola-pola yang lebih besar, yang di dalam kombinasi itu bisa ditemukan representasi sikap atau kepercayaan tertentu. Analisis teks ini berfokus pada pola yang lebih besar dari tanda individual, yakni kalimat, buku, kitab. Untuk itu, analisis difokuskan pada bentuk kombinasi yang ada dalam teks. 
*
Metode semiotika dan perluasannya mempunyai objek kajian yang juga meluas sebagai suatu spectrum, yaitu dari yang memfokuskan diri pada teks (analisis teks, dan analisis isi) sebagai objek penelitian, yang memfokuskan pada struktur social (etnografi, semantic, differential, etno-semiotik), sampau yang menggabungkan kedua objek tersebut sebagai satu kesatuan objek penelitian.
Selain itu metode semiotika juga dapat digunakan pada dua tingkat penelitian, yaitu 1) penelitian makro, yang melihat relasi antara sebuah teks dengan struktur sosiopolitik yang lebih luas (mitos, tabu, ideology, moralitas), yang dalam metode analisis Bartesian sangat berperan besar; 2) penelitian mikto yang melihat relasi sebuah teks dengan kehidupan sehari-hari, khususnya bagaimana masyarakat membaca sebuah teks berdasarkan latar belakang kode, social dan budayangan masing-masing. (2011: 320)

Post a Comment

Previous Post Next Post