Nestapa di Serambi Rumah Panggung

Kicau burung bersahutan, angin asyik mengoyak daun-daun berkilau memantulkan sinar matahari seolah menjadi elegi untuk Karno yang bergaya rambut cepak duduk di serambi rumah panggung menundukan tatapan tepat pada kakinya yang bersepatu ciarmy.

Ia nampak begitu  murung dimata ayah yang berdiri dijalan setapak halaman rumah yang baru pulang dari kebun sambil memikul kayu bakar dan langsung dijatuhkannya “prak”

Ayah berjalan sedikit lari menghampiri dan duduk disebelah Karno, sambil memegang pundak Karno tatapan ayah tajam kemukanya yang tetap menunduk. “apa hasil tesnya anakku?” tanya ayah, suara berwibawa ayah mengguncang diri karno yang sudah duduk berjam-jam sepulang sidang PARADE TNI di MAKODAM. Dengan malas Karno berkata “tidak lulus”.

Ayah seolah tak percaya mendengar berita itu, mengingat anaknya sudah sejak SMP mempelajari kisi-kisi lulus TNI, latihan fisik setiap hari, postur tubuh dan kesehatan Karno juga mustahil untuk membuat karno tidak lulus karena bukan kali pertama Karno ikut tes.

Sambil memalingkan tatapan dan rasa penasaran ayah ajukan pertanyaan kedua “kalau begitu apalagi alasan tidak lulusnya anakku?” “tidak punya uang” jawab Karno tanpa jeda. Keduanya terdiam menyikapi alasan yang tidak masuk akal itu.

Entah sekacau apa gejolak dalam diri mereka. Ayah kemudian berdiri berjalan lunglay menuju belakang rumah sambil sedikit-sedikit tertawa, ketika teringat pada teori mu’tazilah yang pernah ia baca bahwa segala do’a adalah sia-sia.

Penulis: Wawan Sutaji 

Post a Comment

Previous Post Next Post