“Cinta, akan abadi ketika tidak saling memiliki
Karena dengan itu, Cinta akan
selalu
tumbuh dan berkembang
Mencoba hidup di dalam ketiadaan”.
Pusat Kota Kyoto kala itu tidak begitu bersahabat, awan berwarna
abu ke hitaman yang bagaikan kapas, menjadi penghias dan terlihat beterbangan di
atas cakrawala, haripun nampak gelap sebelum waktunya. Seiring berjalannya
waktu, butiran gerimis mulai turun. Aku yang baru saja turun dari bus segera
mempercepat langkah kakiku menuju Peron Stasiun Kereta Api untuk menunggu
kereta yang akan mengantarkanku ke Nagoya.
Tepat satu bulan yang lalu, aku menerima undangan untuk menjadi
pembicara dalam seminar Internasional di Nagoya City University yang bertema “The Role of Midwives in Education, Practice
and Research in Global Era”. Sesuai temanya, aku diminta untuk
berbicara tentang peran tenaga kesehatan dalam dunia pendidikan di abad
sekarang.
Ini adalah perjalanan yang bisa dibilang sangat melelahkan,
bagaimana tidak. Beberapa waktu lalu aku masih berada di London dan sekarang
sudah berada di Kyoto, jarak Inggris-Jepang bukanlah jarak yang dekat.
Sedangkan setelah acara selesai, aku harus kembali ke London, di mana London memang
tempat tinggalku. Selain itu, dalam beberapa tahun terakhir, aku memang bekerja
sebagai Dokter di St. Thomas Hospital London.
Alasanku memilih kereta sebagai transportasi untuk mengantarkanku
ke Nagoya, selain untuk mengefisienkan waktu karena lajunya yang begitu cepat.
Aku juga ingin mengenang dan bernostalgia dengan Kyoto, tempat kelahiran yang
sudah lama aku tinggalkan. Dan ini pertamakalinya lagi aku menyambangi Jepang
setelah aku pindah ke Inggris untuk belajar di Okxford University.
“Masih seperti yang dulu”. Ucapku sambil melihat suasana sekitar
Peron Stasiun Kereta Ryoanji.
Bunga Sakura masih banyak tumbuh di
sekitar stasiun, ini adalah musim penghujan, Bunga Sakura belum menampakan
keindahannya. Berbeda dengan ketika musim semi, Bunga Sakura akan terlihat
indah dan menjadi objek Hanami oleh
masyarakat Jepang.
Walaupun tidak sebesar stasiun
Nagoya dan Kyoto yang merupakan stasiun terbesar kesatu dan kedua di Jepang.
Stasiun Ryoanji cukup bersih dan sederhana.
Setelah lumayan lama menunggu, keretapun datang. Aku dan
orang-orang yang menunggu segera masuk dan duduk di kursi yang ada. Keretapun
mulai melaju.
Suara merdu dari Mayumi Itsuwa menemani perjalananku, suaranya
yang khas sedikit mengobati lelahku dengan ketenangan dan makna dari setiap
liriknya. Sesekali aku memejamkan mata dan melirik ke arah jendela, melihat
tempat-tempat yang dilalui oleh kereta. Butiran air yang turun dari langit, sudah
berubah nama dari yang tadinya gerimis menjadi hujan.
Setiap orang pasti memiliki kesan tersendiri mengenai hujan, tapi
ada dua kepastian yang ditimbulkannya, yaitu kenangan dan genangan. Hujan
selalu bisa membawa penikmatnya terhanyut pada bayangan-bayangan masa lalu yang
memiliki makna dan kesan tersendiri. Dan aku adalah salah satu penikmat hujan,
bayanganku terbawa pada keindahan Kyoto dan masalaluku. Kuil Ryoanji,
Arashiyama, Momiji di Eikando, Kuil Kinanjuki, dan semua tempat yang pernah aku
sambangi ketika dulu, tergambar jelas dalam ingatanku.
Di tengah keheningan hujan, terdengar suara derap langkah dari
arah depan yang berjalan menuju ke barisan kursi belakang, aku sedikit melirik
ke arah pria yang membuka keheningan dengan langkahnya itu. Terlihat ia memakai
kemeja putih, celana hitam dan topi jenis nesboy cap khas seorang seniman. Tangan
kanannya membawa segelas kopi, sementara tangan kirinya memegang sebatang
rokok.
Dia menatapku dengan sorot tajam,
aku menatapnya kembali dengan perasaan kaget. Dan tanpa aku sadari aku
mengucapkan sebuah nama “Yama !”.
Orang-orang yang ada di kereta
menoleh dan melirik ke arahku, tapi itu tak berselang lama, mereka kembali pada
kegiatannya masing-masing. Sementara Pria itu seperti terkejut melihatku, sampai-sampai
ia menjatuhkan rokok yang dibawanya tadi, ia kemudian berjalan mendekatiku
“Fuji !”. Panggilnya menyebut
namaku.
Dugaanku ternyata memang benar,
pria itu adalah Yama. Seorang yang tidak asing bagiku.
Yama duduk disampingku, dan setelah itu, tanpa sepatah katapun
kami terdiam dengan pikiran yang keheranan.
Dengan nada canggung, Yama mencoba
membuka percakapan “Setelah pertemuan terakhir, apa kabarmu?” tanyanya.
Mendengar itu, aku masih saja
terdiam tanpa sepatah katapun, aku masih tidak menyangka bahwa kami akan
bertemu setelah beberapa tahun lamanya.
“Aku baik-baik saja, hidupku menyenangkan”. Ucapku
Ia tersenyum kepadaku “Kau mau secangkir kopi?” tawarnya sambil
menyodorkan kopi yang di bawanya. “Tidak, terima kasih” ucapkun sambil
menydorkannya kembali.
“Dalam beberapa Seminar Internasinal aku selalu melihatmu,
walaupun hanya menonton di layar kaca. Ketika aku mengetahui bahwa kamu
berhasil menggapai semua cita-cita yang dulu pernah kamu angan-angankan. Aku
merasa senang dan bangga, dan selamat atas semua pencapaian itu”. Ucap Yama,
Yama bukanlah orang yang asing dalam hidupku, kami bertemu sejak
masih anak-anak. Sejak kami saling mengenal, kami terkadang mengobrolkan
cita-cita yang ingin kami gapai di masa depan.
Aku selalu ingin menjadi seorang
dokter, walaupun justru hal yang paling aku takutkan adalah hal yang berhubungan
dengan profesi seorang dokter, yaitu darah. Dalam kesempatan lain, aku pernah
berbicara kepadanya bahwa aku ingin menjadi seorang pembicara handal.
Yama sendiri juga selalu menceritakan
keinginannya, bahwa suatu saat nanti ia ingin menjadi seorang penulis,
menghasilkan banyak karya dan bisa mengubah banyak hal menjadi lebih baik
dengan karya-karyanya.
“Kau masih mengingatnya dengan baik?”. Ia kembali bertanya seraya
membuka topi dan menyisir rambutnya dengan tangan.
Kendati aku dan Yama saling mencintai, ternyata takdir berkata
lain. Pada satu kesempatan kami bertengkar hebat, itulah kemudian yang melatarbelakangi
perpisahan kami. Tapi, jika ditimbang ulang, masalah pada saat itu sebenarnya
hanya ketidak saling mengertian antara kami.
“Kenyataan bahwa pada saat itu kita berpisah memang benar.
Sekarang, kita dapat memaafkan satu-sama lain. Kita hanya terlalu muda pada
saat itu, kamu memang benar!”. Jawabku.
Sepanjang perjalanan, sambil berbincang sesekali aku melihat Yama
menulis sesuatu pada secarik kertas. Aku menatapnya dengan dalam, dan harus ku
akui, bahwa pada lubuk hati yang paling dalam aku masih mencintainya.
“Cincin yang bagus!” ucapnya mengomentari cincin yang melingkar
pada jari manisku. Yang ternyata sedari tadi ia perhatikan.
“Kamu sudah menikah?”. Sambungnya lagi
Kembali aku tidak bisa menjawab pertanyaannya, dan hanya anggukan
kecil yang menandakan bahwa aku menjawab iya.
“Kamu sendiri sudah menikah? Atau bahkan sudah mempunyai anak?”.
ucapku mencoba bertanya balik.
“Kalau anak banyak, tapi untuk isteri aku tidak punya karena sama
sekali belum pernah menikah”. Jawabnya sambil tertawa
“Dasar gila ! bagaimana bisa? Kau main ke tempat pelacuran”.
“Aku tidak segila itu! kamu ingat bahwa dulu aku pernah berbicara
bahwa ‘suatu hari nanti aku ingin menampung anak-anak yang terlantar di
jalanan’”. Jawabnya
“Aku mengerti sekarang, lalu kenapa kamu tidak menikah?” ucapku
“Karena ketika aku berjanji, aku tidak akan mengingkari janjiku”.
Mendengar ucapan itu aku terhenyak kaget, ingatanku terbawa
kembali pada saat di mana kami hendak berpisah. Yama memilih berpisah denganku
karena alsannya ingin lebih fokus untuk menggapai apa yang ia cita-citakan. Dan
ia pernah bilang bahwa “Jika kita pada saat ini menjalani hidup seperti ini,
mustahil kita akan menggapai impian yang kita cita-citakan”. Hanya saja saat
itu, karena emosiku yang meluap, aku tidak memahami apa yang ia bicarakan, Tapi
sebelum kami berpisah, Yama sempat berjanji kepadaku bahwa “Walaupun kami
berpisah, ia hanya akan menjadikan aku wanita satu-satunya yang ia cintai”. Ia
juga berbicara bahwa untuk menjaga cintanya kepadaku, ia tidak akan menikah
dengan wanita manapun, dan itu menjadi janjinya.
Setelah aku kembali pada titik sadar, suasana kembali hening. Aku
hanya sesekali menatapnya, dan iapun melakukan hal yang sama. Kami terhanyut
dalam kenangan. Dan kemudian tersadar oleh suara rem kereta api yang cukup
melengking di telinga.
Aku melihat keluar jendela, ternyata sudah sampai di Stasiun
Nagoya. Kami segera mengambil-barang bawaan dan segera turun keluar. Namun
hujan masih belum juga reda, kami segera menuju Peron Stasiun.
“Aku salah satu penggemar tulisan-tulisanmu!”. Ucapku pada Yama
dengan senyum dan nada canda. Seperti biasa, senyum khas yang aku rindukan
darinya kembali tersungging kala aku mengajaknya bercanda.
Di London, setelah beberapa tahun aku mengetahui jika Yama
berhasil menjadi seorang sastrawan dan banyak menghasilkan karya-karya.
Walaupun bukan orang pertama yang membeli bukunya, tapi aku tidak pernah
ketinggalan untuk membeli bukunya di toko-toko buku.
Hujan mulai reda, dan takdir pulalah yang mempertemukan dan
memisahkan kami berdua.
“Selamat tinggal !”. ucapku pada Yama.
“Jangan ucapkan selamat tinggal, dengan ucapan itu kita akan
saling meninggalkan”. Ucapnya sambil menatapku. “Tapi ucapkanlah ‘sampai
berjumpa kembali’ karena dengan itu ada harapan untuk bertemu kembali”. Sambungnya.
“Sampai berjumpa kembali !”. ucapku meralat ucapan yang tadi.
Sambil bersalaman Yama memberikan secarik kertas dan berkata “Fuji
! Aku mencintaimu. Tetapi kita berdua memiliki mimpi masing-masing, bertemu
kembali denganmu adalah sesuatu yang menakjubkan. Rasanya seperti kita berdua
berteduh dari hujan”.
Yama berjalan meninggalkanku, dan aku mencoba membaca secarik
kertas yang tadi ia berikan:
[Gema Dalam Sukma]
----
Di dalam hidupku
Terdapat nyanyian cinta dan rindu
Yang bergema dalam sukma
Berbalut heningnya malam, diiringi
sunyinya siang.
Cinta dan hidupku adalah dirimu
Maka aku akan datang kepadamu
Walaupun ku tau
jalannya curam dan terjal berduri
siap melukai.
Hidup dan bahagiaku adalah dirimu
Maka aku akan mencoba terbang
bersamamu
Walaupun ku tahu di balik sayapmu
yang indah
Terdapat anak panah yang siap
menghujamku dari segala arah
Bahagia dan cintaku adaah dirimu
Maka aku akan berbincang dan
bernyanyi bersamamu
Walaupun kutau di balik merdu
suaramu
Ibarat sebuah guntur dalam badai
yang ketika berkata
Bisa membuatku tercerai antara jiwa
dan raga
Tapi aku akan tetap datang kepadamu
Untuk membisikan nynyanyian cinta
dan rindu
Yang bergema dalam sukma
Di dalam hidupku
----
Note:
Cerpen ini pernah dimuat pada media online Kabar Madura: Amayadori | Kabar Madura