Tamu Agung

 

Ketika membuka mata dari tidur, aku segera melihat arloji yang ada di atas meja samping tempat tidur, jarum panjangnya menunjukan pukul 03:30 WIB. Biasanya jika tidak kesiangan, aku akan dibangunkan oleh usapan angin Subuh, angin yang dinginnya mengusap-usap sekujur tubuhku, masuk ke lubang kulit, dan bersarang pada tulang. Tapi Subuh ini aku terbangun karena memimpikan sesuatu, mimpi yang rasanya baru kali ini aku memimpikannya. Dimana dalam mimpi itu aku bertemu seseorang yang tidak aku kenal dan menyampaikan pesan bahwa Nabi Muhammad akan datang dan menjumpaiku.

Adzan Subuh berkumandang, aku segera mengambil wudhu dan sembahyang. Setelah itu, karena pagi ini tidak ada kegiatan yang harus dilakukan, aku memutuskan untuk tidur kembali. Setelah Virus Corona menjadi ancaman dengan menyebar hampir ke seluruh dunia, dalam beberapa bulan ini aku lebih banyak melakukan kegiatan di dalam rumah, serta berkomunikasi dengan orang-orang secara online. Walaupun pada satu sisi kegiatanku menjadi lebih terbatas, tapi di sisi lain juga memberikan kelonggaran sehingga lebih santai.

Aku segera berbaring, menarik selimut tebalku untuk mendapatkan kehangatan. Tapi ketika hendak memejamkan mata, aku teringat mimpiku yang tadi, aku mencoba mengabaikannya dengan menganggap bahwa itu hanya mimpi biasa yang merupakan bunga tidur. Hanya saja semakin jauh aku mencoba membuangnya dari ingatan, semakin kuat juga ingatan itu masuk dan memenuhi isi kepalaku.

Beberapa pertanyaan kemudian berseliweran di kepalaku, mengusir rasa kantuk dan menggantikannya dengan rasa penasaran. “Bagimana jika itu pesan Ilahi? Bagaimana jika Nabi Muhammad benar datang dan menjumpaiku?”. Jawaban yang paling logis memanglah pasti tidak mungkin Nabi Muhammad menjumpaiku, secara Nabi besar itu sudah wafat berabad-abad yang lampau sebelum kelahiranku.

Tapi bagaimana jika mimpi itu benar terjadi? Bukankah dalam kasus tertentu ada banyak mimpi yang tadinya dianggap bunga tidur semata itu malah menjadi kenyataan?

Sebenarnya aku merasa senang jika Nabi Besar Muhammad benar mengunjungiku, aku begitu ingin bertemu dengannya, memeluk tubuhnya, mencium kedua belah pipinya. Lagi pula siapa yang tidak ingin bertemu dengan sang idola?

Aku begitu mencintai Nabi Besar Muhammad, aku begitu marah ketika beberapa bulan lalu mendapati berita bahwa ada seseorang yang membuat karikaturnya. Secara, karikatur pada dasarnya dibuat untuk menunjukan hinaan kepada objek yang dikarikaturi. Jika karikatur itu ditujukan padaku, aku akan menerimanya, aku memang pantas dan jauh dari nilai sempurna. Tapi jika Nabi Muhammad yang menjadi objeknya, jelas aku akan marah, karena beliau memang jauh dari kata hina, beliau manusia yang sempurna dan berbudi pekerti luhur. Lagipula tidak ada yang tahu percis bentuk wajah beliau.

Setelah aku mencoba menjawab pertanyaan yang aku tanyakan sendiri, rasa kantukku benar-benar hilang. Kepalaku semakin berat, karena ketika satu pertanyaan selesai terjawab, malah jawaban itu menimbulkan pertanyaan lain.

Aku bangkit dari tempat tidur menuju dapur dengan niatan ingin menyeduh kopi, setelah kuperiksa lemari tempat menyimpan bahan minuman, ternyata yang tersedia hanya teh. Terpaksa aku menyeduh bahan yang ada. Setelah satu gelas teh berhasil dibuat aku membawanya ke ruang tengah untuk dinikmati sambil menonton berita di televisi.

Seperti biasa, ketika aku menyalakan televisi dan mendengarkan berita, maka hampir semua siaran televisi memberitakan tentang perampokan, peperangan, pembunuhan, kelaparan, pemerkosaan, dan kejahatan-kejahatan lainnya. Aku berasumsi bahwa dunia ini memang sudah edan, sehingga dunia menjadi tontonan kengerian semata, asumsi lainnya bahwa mungkin para wartawan sudah kehabisan kreatifitas sehingga memberitakan hal yang sama setiap harinya. Masalahnya ketika sesuatu hal dilakukan berulang-ulang, maka orang akan tahu dengan sendirinya dengan tanpa diberitakanpun kejadian itu akan terjadi.

Jika dunia ini memang sudah kalut dan edan, sepertinya dunia memang butuh seorang pahlawan yang bias mengatasinya. Mungkin Superman? Captain Amerika? Tapi pahlawan-pahlawan itu dirasa belum cukup untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Dunia ini membutuhkan sosok yang benar-benar sempurna dan tanpa cacat, sosok pahlawan yang bisa menyelesaikan segala konflik, termasuk konflik sosial dan kemanusiaan.

Dan ketika aku membayangkan sosok pahlawan yang tepat, entah kenapa pikiranku terpusat pada satu nama, yaitu Muhammad bin Abdullah. Entah karena rasa rinduku atau apa, tapi jika ditimbang dan jujur-jujuran. Muhammad bin Abdullah memang memiliki kesempurnaan aspek untuk mengubah pradaban menjadi lebih baik, anggapanku juga bukan sekedar simpang siur belaka, Ia sudah membuktikannya berabad-abad yang lalu. Bahkan budi pekertinya yang aku ketahui dari Sirah Nabawiyahnya begitu baik, sempurna, dan tanpa celah.

“Ya, dunia ini membutuhkan Muhammad bin Abdullah”. Ucapku kemudian

Setengah jam berlalu, dan pembawa berita di televisi itu belum selesai juga membacakan berbagai permasalahan dunia ini.

“Memang tidak akan pernah selesai”. Ucapku yang sambil memindahkan siarannya ke acara siaran musik. Musik pagi mungkin bisa menumbuhkan semangat hidupku yang lesu karena melihat berbagai konflik dan penderitaan di dunia ini, sedangkan aku sendiri tidak bisa mengubahnya.

Mengingat nama Muhammad, aku kembali teringat pada mimpiku. Aku kembali mempertanyakan bagaimana jika mimpiku benar-benar menjadi kenyataan? Jikapun itu terjadi apakah ada hubungannya dengan akan memperbaiki keadaan dunia ini? Pertanyaan-pertanyaan itu terpaksa harus aku cari kembali jawabannya. Dulu kedatangan Nabi Muhammad ke dunia ini adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia, apakah nanti kunjungannya kepadaku untuk menyempurnakan akhlakku?

Aku merasa malu pada diriku sendiri, dimana sejauh ini aku yang mengaku merindukannya, mencintainya, menganggap diriku sebagai umatnya. Jauh dari apa yang ia contohkan dan ajarkan.

Nabi selalu shalat tepat waktu, tapi aku sendiri kebalikannya, menunda-nunda. Bahkan tak jarang dari kemenundaan itu aku malah kelupaan sehingga tidak melaksanakan shalat. Nabi selalu mengasihi semua orang, bahkan kepada orang-orang yang membencinya sekalipun. Sedangkan diriku? Jangankan untuk mengasihi orang yang membenciku, malah aku sendiri yang banyak membenci orang lain. Nabi selalu beramal shaleh dalam hidupnya, tapi jika aku tanyakan pada diriku sendiri tentang apa yang sudah aku lakukan untuk beramal shaleh, rasa-rasanya dihitung dari sehari, seminggu, sebulan, bahkan setahunpun, hanya beberapa kebaikan yang bisa aku lakukan. Bahkan mungkin tidak ada satupun amal shaleh yang aku lakukan untuk memberikan kebaikan kepada orang lain.

“Ya Rasul! Umat macam apa aku ini? Aku jauh dari apa yang kamu ajarkan, apakah sejauh ini artinya aku hanya berpura-pura merindukanmu, berpura-pura mencintaimu, berpura-pura menjadi umatmu?”. Jeritku dalam hati

Sepertinya aku harus mempersiapkan diri untuk mewanti-wanti jika mimpiku menjadi kenyataan, aku harus memikirkan bagaimana nanti aku menyambutnya, aku harus segera menyiapkan kamar jika Rasulullah Muhammad menginap.

Yang jadi permasalahan juga bagaimana nanti aku menjelaskan kebiasaanku yang suka bangun kesiangan, selalu berleha-leha, dan bermalas-malasan. Bagaimana nanti jika teman-temanku yang bertato dan mabuk-mabukan itu datang saat Raulullah ada di rumahku? Bagiamana aku menjelaskan gambar-gambar perempuan tanpa busana yang menempel di dinding kamarku? Bagimana aku menjelaskan kaset musik yang memenuhi lemari di ruang tengahku?

“Ya Rasul, ini musik Jazz, disco, musik modern”.

Jika mimpiku itu terjadi, apakah aku akan langsung bisa mengenalinya? Dalam Barjanji Rasulullah digambarkan dengan lelaki yang tampan, kulitnya putih kemerahan, dahinya seperti bulan sabit, pipinya halus, hidungnya mancung, dan ciri-ciri fisik indah lainnya.

Aku terhanyut dalam lamunan, sementara itu di siaran televisi Nasional, Bimbo sedang bernyanyi dengan syahdunya “Oh Tuhan Yang Kuasa, berilah petunjukmu…”. Lagu itu terus mengalun mengiringi pagiku yang penuh dengan kebingungan.

“Assalamu’alaikum”. Tiba-tiba ada sesorang mengucapkan salam dan mengetuk pintu rumahku. Aku tidak segera membukanya, tapi sekali lagi salam itu terdengar. Aku berjalan sambil mengumpat dalam hati “Mengapa pada pagi buta seperti ini datang bertamu, mengganggu orang saja”.

Aku membuka pintu, dan kudapati ada seorang lelaki berdiri. Badannya tinggi, wajahnya berseri, bau tubuhnya tercium harum, dan ia melemparkan senyum yang sejuk kepadaku. Aku hanya terdiam, lelaki ini asing bagiku, sebelumnya aku tidak merasa pernah bertemu dengannya.

“Saudaraku”. Lelaki itu membuka obrolan sambil tetap mengembangkan senyumnya. “Apakah ada seseorang yang mengabari kepadamu jika aku akan mengunjungimu?”. Sambungnya dengan sebuah pertanyaan.

“Seseorang? Menyampaikan pesan? Mengunjungiku?”. Aku kembali hanya bisa diam dan bertanya kepada diriku sendiri, “Apakah ini Rasulullah?”.

“Silahkan masuk”. Setidaknya itulah jawaban yang terucap dari diriku, aku tidak sempat menjawab salamnya apalagi membalas senyumnya. Aku segera mempersilahkannya duduk. “Jika ini Rasulullah, mengapa dating mendadak begini?”. Aku segera izin ke kamar tamu untuk merapikan ruangannya, setelah itu aku mencoba mencari Al-Qur’an untuk setidaknya aku pajang. Aku pergi ke perpustakaan kecilku, tapi Al-Qur’an tidak juga aku temukan.

Tumpukan buku aku buka, kardus-kardus juga aku bongkar, barulah aku menemukan Al-Quran berada di urutan paling bawah, tertimpa buku-buku filsafat dan sastra yang sering aku baca. Sementara itu buku Sirah Nabwiyah berada di satu sudut bagian perpustakaanku, segera aku bersihkan dari debu yang menyelimutinya.

Setelah semuanya tertata rapi, aku segera kembali menemui tamu agung itu. Tapi aku tidak mendapatinya ada di ruang tamu, aku mencarinya ke luar rumah, tetap saja tidak ada.

"Kemana perginya?".

Aku merasa yakin betul bahwa tadi bukan halusinasi, itu jelas terjadi, bahkan sampai saat ini harum tubuhnya masih menyelimuti ruangan rumahku. Jika itu Rasulullah, apakah ia marah kepadaku, marah kepada sambutanku yang tidak sopan.

"Tidak, Rasulullah buka tipe orang pemarah".

Berarti itu memang halusinasiku, halusinasi dari ketakutanku atas rinduku, dan cintaku yang pura-pura, yang jauh panggang daripada api.

Suara Bimbo kembali terdengar mengalun lembut di televisi, "Rindu kami padamu yaa Rasul, rindu tiada terkira".

Aku kembali diam dan menangis.

Post a Comment

Previous Post Next Post