Tuhan telah
mati dan kita telah membunuhnya, ungkapan ini menjadi sangat populer dan ketika
kita mendengar itu pasti akan tertuju pada seorang filsuf Jerman yaitu Wilhelm
Friedrich Nietzsche, di Indonesia ungkapan Tuhan telah mati memang begitu
sensitif ketika di ucapkan ditempat umum, mengingat masyarakat Indonesia
semuanya bertuhan dan mayoritas Islam yang boleh tergolong fanatik. Tetapi
apakah maksud dari Tuhan telah mati? kenapa Nietzsche sampai melontarkan kata
tersebut didalam beberapa aforismenya?
Ungkapan Tuhan telah mati yang dirumuskan
Nietzsche memilik beberapa variasi ungkapan diantaranya adalah Reqium
Aeternam Deo! (semoga Tuhan beristirahat dalam kedamaian abadi) ungkapan reqium
aeternam ini diucapkan bertujuan
untuk menghormati sekaligus mendoakan orang yang meninggal, yang memilik arti (semoga
engkau beristirahat dalam kedamaian abadi). Tetapi Nietzsche menggantinya
dengan Reqium Aeternam Deo. Dan ungkapan ini menjadi salah satu yang
terkenal Nietzsche dalam Aforismenya
ketika ia dengan lantang mengatakan “Tuhan telah mati! Kita telah
membunuhnya”.
Dalam beberapa karya Nietzsche ungkapan Tuhan
telah mati akan lumrah kita temukan Misalnya saja dalam Also Sprach
Zarathustra, karya lain Der Tolle Mensch dan Die Frohliche Wissenschaft. Aforisme
semacam ini sengaja Nietzsche buat agar dapat memaklumkan kematian Tuhan yang
dikuburkan secara beramai-ramai. Ide yang diungkapkan ini menunjukan suatu
kekontrasan psikologis Nietzsche sebelum ia menjadi seorang filsuf ia bercita-cita
menjadi seorang pendeta. Ungkapan
pemikiran Tuhan telah mati tidak terlepas dari situasi Eropa pada saat itu yang
didominasi oleh gereja atau ajaran kristen yang kaku dan orang-orang
menerimanya dengan pasif, Nietzsche menganggap orang-orang Eropa telah kehilangan sesuatu yang dianggap paling
sakral bagi manusia. Baik dan buruk yang dapat dibedakan oleh makna dan nilai
seluruhnya telah roboh. Masyarakat yang
hidup sezaman dengannya pada saat itu semuanya beragama tetapi tidak
mencerminkan seseorang yang bertuhan dalam hidupnya, dan peristiwa inilah yang Nietzsche
sebut dengan kematian Tuhan. Peristiwa kematian Tuhan ini menunjukan Tuhan
pernah memegang peranan penting dalam kehidupan manusia pada masa sebelum
Nietzsche. Tetapi Tuhan pada saat ini hanyalah sebuah kata yang kosong.
Skolastika yang dikenal dalam ajaran Kristen
bersifat kaku. Ketika siapapun menganut ajaran ini maka penganutnya tidak perlu
memakai rasio lagi dalam menjalankan seluruh ajarannya, yang di utamakan dalam
ajaran ini adalah ketaatan, ajaran yang bersumber dari moral Kristen ini, mencoba
memberikan jaminan yang absolut kepada setiap pengikutnya. Ajaran Skolastika
menghasilkan empat hal moral, pertama memberi nilai absolut untuk manusia dan
dirinya sebagai jaminan bagi setiap diri yang menginsyafi bahawa dirinya begitu
kecil dan tidak berarti. Kedua, ajaran skolastika berlaku di dunia sebagai perintah-perintah Tuhan’ ketiga, menanamkan
segala pengetahuan tentang nilai yang absolut guna memahami apa yang dianggap
terpenting. Keempat, menganggap hanya ajaran Skolastika yang mampu menjamin
manusia hidup dengan tentram. Keempat poin inilah yang dianggap Nietzsche
membuat manusia menjadi yakin dan aman akan kehidupannya sehingga sangat sulit
untuk lepas dari keterlenaan.
Gott ist Tot adalah suatu aforisme yang dipakai Nietzsche
bukan semata-mata untuk mengungkapkan kematian tuhan melainkan juga sebagai cara
komunikasi Nietzsche dengan Masyarakat Eropa saat itu, Nietzsche dengan
aforismenya mencoba mengajak masyarakat Eropa untuk sadar bahwa mereka akan kehilangangan jatidirinya. Aforisme
Gott ist Tot seperti hanya menyinggung persoalan agama saja padahal yang
menjadi tujuan inti Nietzsche ini yang sesungguhnya adalah menemukan sebuah kebenaran,
karena filsafat yang digeluti Nietzsche adalah untuk mencari kebenaran, akan
tetapi dengan paradigma Gott ist Tot
Nietzsche mencoba mengkritik keyakin individu yang beragama tetapi tidak
menanamkan sifat tuhan. dan menjadi pertanyaan apa yang telah kita lakukan
kepada Tuhan?, dimana kita tempatkan Tuhan? karena yang sering kita lihat agamawan hanyalah mementingkan
diri sendiri dan kelompoknya saja sedangkan Tuhan hanya menjadi alat untuk
mencapai tujuan yang bukan Tuhan. Inilah kematian Tuhan dan kitalah pembunuhnya.
Ada banyak tafsir tentang aforisme Gott ist
tot Nietzsche, tetapi jika di
klasifikasikan hanya menjadi dua, pertama apakah Nietzsche benar-benar ingin
menghilangkan Tuhan dan tidak menyakini adanya Tuhan dan jawabannya benar
begitu dan yang kedua adalah seperti yang telah terurai diatas.
Wawan Sutaji
Referensi
Nietzsche, Wilhelm Friedrich. 2008. Zarathustra. Yogyakarta:
Quills Book Publisher.
Hardiman F. Budi, Filsafat Modern, dari
Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007
Clark, Maudemarie, Nietzsche, on Truth and
Philosophy, Cambridge: Cambridge University Press,1990.
Delauze, Gilles, filsafat Nietzsche, terj.
Basuki Heri Winarno, Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2002.
Sunardi, St, Nietzsche, Yogyakarta:
Lkis, cet. VII, 2012
Setyo Wibowo , A., Gaya Filsafat Nietzsche,
Yogyakarta: Galang Press, 2004
Mukhid Abdul, friedrich Nietzsche
Roy Jackson, Narasi, 2020.