Modernisasi Beragama: Analisis Terhadap Pemikiran Mohammad Abduh

Pada abad ke-21 ini, tidak bisa disangkal bahwa kemajuan zaman sungguh begitu pesat. Terutama di bidang teknologi. Akar kemajuan ini bisa kita telusuri jejaknya pada kebangkitan peradaban eropa pada abad ke-18, setelah mengalami masa-masa kegelapan. Peradaban eropa bangkit dengan wajah dan semangat baru. Tapi menariknya bahwa, kebangkitan itu dibarengi dengan kemunduran perkembangan peradaban Islam.

Dampak dari kemunduran Islam itu, kemudian pemikir-pemikir muslim mulai memperdebatkan tentang teologi agamanya. Teologi klasik dianggapnya sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman yang gelagatnya mulai susah untuk ditebak ini, bahkan sampai timbul pertanayaan haruskah Islam mengikuti perkembangan zaman, atau zamanlah yang mengikuti Islam.

Pemkir-pemikir Islam terkemuka, mencoba menyelamatkan Islam dari kemunduran itu dengan berbagai cara. Salah satunya menyumbangkan pemikiran-pemikirannya agar Islam tidak dirundung dengan kemandegan dan kejumudan. Di antara pemikir itu adalah Syaikh Muhammad Abduh dan Ali Syariati.

Kedua tokh yang disebut itu, dikenal dengan pemikirannya yang membawa teologi Islam dengan jalan yang kebih segar yang bertujuan agar pradaban Islam bisa ikut andil mengimbangi pradaban eropa yang tampil dengan rasionalitas tinggi dan humanisme.

Teologi yang dibawa oleh Syaikh Muhammad Abduh dan Ali Syariati, dikenal juga dengan teologi pembebasan, pada mulanya teologi ini dirancang untuk melawan kekuasaan di suatu negara (dalam hal ini Mesir sebagai negara Syaikh Muhammad Abduh dan Iran sebagai negara Ali Syariati) yang menggunakan kekuasaan dengan bersembunyi pada jubah agama untuk menindas bangsanya sendiri. Tetapi pada kelanjutannya, pemikiran yang disumbangkan oleh kedua tokoh tersebut digunakan untuk mengimbangi pemikiran eropa.

Muhammad Abduh hidup pada abad di mana ada transisi perkembangan yang begitu cepat di era modern. Pada saat itu bangsa eropa sedang mengalami kebangkitan pradaban setelah tertidur dan melihat kejayaan Islam berada di masa keemasannya, kebangkitan itu khususnya di bidang pemikiran, ekonomi, dan teknologi.

Di sisi yang lain, sudah bukan rahasia umum lagi bahwa ketika eropa memasuki era the golden age, Islam sendiri malah terjerumus dan lengser dari singasana kejayaannya ke masa kelam, di mana pemikiran banyak mengalami kemandegan dan sulit ditemukannya inofasi untuk keluar dari problem-problem di dalam tubuhnya sendiri

Dibarengi dengan perkembangannya bangsa eropa menekankan paham imperialisme terhadap bangsa-bangsa lain dengan dalih untuk membuat bangsa jajahannya menjadi bangsa yang beradab dan lebih rasional serta demokratis. Padahal di balik itu, alasan utamanya tidak lain dan tidak bukan adalah untuk kekayaan bangsanya sendiri.

Banyak faktor yang mempengaruhi fenomena yang terjadi pada kemunduran Islam itu sendiri, tapi di antara banyaknya itu ada dua faktor utama yaitu faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal itu seperti yang sudah sedikit diulas pada pendahuluan yaitu tentang tantangan kemajuan peradaban eropa. Dan faktor internalnya adalah problem yang ada pada tubuh Islam sendiri.

Kebanyakan ummat saat itu bersifat pasif dan apatis dan Abduh menyerukan untuk memberikan perlawanan kepada dominasi Eropa, karena bagi Abduh mereka tak patut memerintah ummat Islam (masyarakat Muslim) karena ‘berbeda agama, di samping itu tak layak tunduk kepada mereka, sekalipun mereka menegakkan keadilan”.^[1]

Selain itu, pemerintahan Islam pada waktu itu terbagi menjadi dua cabang kekhalifahan. Di mana hal itu dibarengi dengan kepanatikan umat terhadap pemimpin di setiap sektenya, sehingga itu menimbulkan perpecahan dan pertikaian antara satu sekte dan yang lainnya. pada titik ini tidak adanya kesatuan antara umat Islam di berbagai bidang.

Kemudian ada fenomena di masyarakat Islam yang menjadikan Islam berada pada kemandegan, yaitu ada pengkondisian pemikiran umat Islam untuk memiliki keimanan yang terbatas pada taklid dan ritus belaka, ibadah keagamaan dan dogma teologis. Hasil dari itu, Islam dengan tauhid sebagai dasar ajaran menjadi tak bertuah bagi nilai kemanusiaan. jangankan menjadi rahmat, justru Islam sering dijadikan dalih (pembenaran)
yang melanggengkan kezaliman (hal yang sejatinya paling dilawan oleh Islam).

Bahkan Hasan Hanafi juga memberikan komentar tentang hal itu, bahwa teologi yang diyakini secara dogmatik tak mampu menjadi “pandangan yang benar-benar hidup” yang memberi motivasi tindakan dalam kehidupan kongkret manusia. Hal ini dikarenakan penyusunan doktrin teologi tidak didasarkan atas kesadaran murni dan nilai-nilai perbuatan manusia. Sehingga muncul keterpecahan (split) antara keimanan teoritis dan keimanan praktis dalam umat Islam, yang pada gilirannya akan menghasilkan sikap-sikap moral ganda atau “sinkretisme kepribadian”^[2]

Melihat fenomena yang terjadi itu, Muhammad Abduh tidak tinggal diam. Bahkan ketika M. Gabriel Hanoteux memperolok Islam dengan pernyataan “kerendahan seseorang itu didapat karena ia adalah muslim Muslim”. Ia membuat pernyataan balik bahwa Islam adalah agama yang dapat lebih mendorong tumbuhnya ilmu pengetahuan.^[3]

Abduh mencoba mengajak Muslim bangkit dari keterpurukan, salah satu caranya dengan menyubangkan pemikiran. Solusi dari kebuntuannya menurut Abduh Islam harus melakukan pembaharuan dan umar perlu kembali lepada pokok dasar iman yang dianggap sama oleh berbagai mazhab. Perlu diketahui juga bahwa pada saat Abduh hidup, sejauh yang ia temui bahwa Islam telah dipengaruhi dan terjebak pada metode tafsir masa lalu yang tidak produktif. Jalan keluarnya menurut Abduh adalah dengan penyadaran terhadap umat dengan hanya menggunakan tradisi lampau tersebut yang relevan saja. Karena jika tidak demikian, itu akan membawa umat pada taklid buta yang menjadi penghalang kemajuan.

Abduh juga tidak hanya sekedar memberikan pernyataan saja, tetapi dalam prakteknya ia memberikan metode dalam menafsirkan ajaran Islam. Pertama adalah sa’laf, bagian ini adalah penyeleksian dan penimbangan terhadap memilih otoritas dari leluhur mana yang harus dipilih, tentunya hanya memilih yang diperlukan saja. Umat harus mengidentifikasinya. Kedua adalah analisa yang seksama terhadap teks yang akan dikaji tak terkecuali teks masa lampau. Karena semuanya, kecuali al-qur’an masih terbuka pintunya untuk mendapatkan kritikan, perubahan, dan pembaharuan. Dan yang terakhir, lebih kepada harus bersatunya umat jangan sampai ada perpecahan dan diskriminasi yang dilakukan oleh khalifah terhadap umat tertentu.

Akibat dari pemikiran Abduh itu, di kemudian hari. Islam mengalami pembaharuan wajah teologi. Terkhusus di negaranya, yaitu mesir. Ia mencoba menampilkan Islam dengan arah baru, yaitu rasionalitas yang tentunya bisa menjadi pesaing bagi peradaban modern eropa.

 

Refleksi

Di tengah keterpurukan Islam yang mau tidak mau harus diakui oleh umat Islam itu sendiri, seharusnya umat mencoba keluar dari kungkungan tersebut. Karena jika tidak, maka Islam akan semakin tergerus oleh peradaban Eropa yang kian hari selalu menjadi pelopor atas perkembangan zaman.

Terkhusus di Indonesia, permasalahan akan taklid buta memang masih menjadi fenomena yang menghiasi wajah teologinya. Hadirnya Abduh dan pemikirannya sebenarnya membawa angin segar untuk kebangkitan Islam di masa yang akan datang. Islam memang harus menampilkan diri dengan pembaharuan yang dirasa kuat untuk bisa bersaing dengan peradaban dan mencoba menjawab tantangan eropa.

Rizki Mohammad

 

Referensi

Abduh, Muhammad. Al-A’mal al-Kamilah, Al-Mu’assasah Al-‘Arabiyah li Ad-Dirasah wan Nasyr, 1972, jild I

Hanafi, Hassan. Min al-Aqidah ila al-Tsawrah. Diterjemahkan oleh Asep Usman
Ismail, Suadi Putro, dan Abdul Rauf dengan Judul Dari Akidah ke
Revolusi. Jakarta: Paramadina. 2003.

Rahmena, Ali. Para Perintis Zaman Baru Islam.: Mizan. 1995.

---

^[1] Muhammad Abduh, Al-A’mal al-Kamilah, Al-Mu’assasah Al-‘Arabiyah li Ad-Dirasah wan Nasyr, 1972, jild I, hal. 637

^[2] Hassan Hanafi, Min al-Aqidah ila al-Tsawrah, Diterjemahkan oleh Asep Usman Ismail, Suadi Putro, dan Abdul Rauf dengan Judul Dari Akidah ke Revolusi (Cet, I; Jakarta: Paramadina, 2003), h. 45.

^[3] Ali Rahnema (Ed)., Para Perintis Zaman baru Islam, Mizan, Bandung, 1995, Hal.51