Beranda Literasi- Gerakan mahasiswa di Indonesia telah menjadi salah satu kekuatan sosial yang paling konsisten dalam mengekspresikan kritik terhadap kekuasaan. Sejak masa kolonial, Orde Lama, Orde Baru, hingga era reformasi dan demokrasi kontemporer, mahasiswa kerap tampil sebagai penyambung lidah rakyat ketika suara masyarakat terbungkam oleh struktur politik yang represif. Namun, untuk memahami dinamika gerakan mahasiswa secara lebih mendalam, menarik jika kita melihatnya melalui perspektif Karl Marx, seorang filsuf dan teoritikus sosial yang dikenal dengan kritiknya terhadap kapitalisme dan gagasan perjuangan kelas.
Mahasiswa Sebagai Agen Perbuhana Sosial
Dalam teori Marx, masyarakat terbagi ke dalam kelas-kelas yang memiliki kepentingan berbeda. Pertentangan antara kelas borjuis (pemilik modal) dan proletariat (kaum pekerja) menjadi motor utama sejarah. Jika kita mencoba mengaitkannya dengan mahasiswa Indonesia, posisi mereka memang tidak dapat langsung disamakan dengan proletariat yang bekerja di pabrik atau ladang. Akan tetapi, mahasiswa memiliki fungsi unik sebagai kelompok terdidik yang berpotensi menyadari adanya ketidakadilan dalam relasi sosial dan ekonomi. Mahasiswa dalam konteks ini, bisa dipandang sebagai bagian dari kelas menengah yang berada di antara kelas berkuasa dan rakyat kecil. Marx menyebut bahwa kesadaran kritis akan muncul ketika individu memahami posisinya dalam struktur produksi. Mahasiswa Indonesia kerap mengadopsi kesadaran tersebut, meskipun mereka bukan pekerja langsung. Mereka melihat penderitaan rakyat, mempelajarinya secara akademis, lalu mengartikulasikannya dalam bentuk gerakan sosial.
1. Dialektika Sejarah dan Gerakan Mahasiswa
Bila menggunakan pendekatan dialektika Marx, gerakan mahasiswa dapat dibaca sebagai reaksi terhadap kontradiksi sosial-politik yang muncul dalam tiap periode sejarah Indonesia, kita sebut saja
2. Era Kolonial, Mahasiswa pribumi di Belanda maupun di Hindia Belanda menyuarakan perlawanan terhadap penjajahan. Mereka menjadi pelopor nasionalisme, suatu bentuk antitesis terhadap hegemoni kolonial.
3. Era Orde Lama, Mahasiswa terlibat dalam pusaran ideologi, sebagian mendukung dan sebagian menentang kebijakan Soekarno.
4. Era Orde Baru, Mahasiswa menjadi salah satu kekuatan moral yang menolak otoritarianisme Soeharto. Aksi besar tahun 1998 adalah titik kulminasi, di mana mahasiswa berhasil menjadi katalis kejatuhan rezim.
5. Era Reformasi hingga saat ini, Mahasiswa tetap hadir ketika ada kebijakan yang dianggap merugikan rakyat, seperti kenaikan harga BBM, pelemahan KPK, atau isu demokrasi prosedural yang kian dangkal. Dari perspektif Marx, ini semua adalah manifestasi kontradiksi antara elit penguasa dan rakyat, antara modal dan buruh, antara janji demokrasi dan realitas oligarki. Gerakan mahasiswa hadir sebagai antitesis yang mencoba mendorong lahirnya sintesis baru dalam sejarah bangsa.
Kesadaran Kelas dan Peran Intelektual Organik
Marx mengajarkan pentingnya kesadaran kelas (class consciousness). Kaum buruh hanya bisa melawan jika mereka sadar bahwa mereka ditindas. Di sinilah peran mahasiswa menjadi signifikan. Antonio Gramsci, seorang pemikir Marxis, menyebut istilah intelektual organik yang memiliki arti kaum intelektual yang berpihak pada kelas tertindas. Mahasiswa Indonesia, dengan akses pada pengetahuan, literatur, dan jaringan, sering kali mengambil posisi ini. Mereka menyuarakan aspirasi rakyat, buruh, dan petani yang sering tidak punya ruang untuk berbicara. Spanduk, poster, orasi, hingga tulisan yang dibuat mahasiswa memiliki fungsi sebagai kanal komunikasi yang mengangkat kesadaran publik tentang ketidakadilan struktural. Dengan kata lain, mahasiswa berperan menjembatani teori Marx tentang perjuangan kelas dengan realitas sosial di Indonesia.
Sekrang ini kapitalisme menindas bukan hanya secara ekonomi, tetapi juga menciptakan hegemoni budaya melalui media, gaya hidup, dan konsumsi. Mahasiswa sering kali terjebak dalam sistem tersebut. Sibuk dengan dunia digital, terfragmentasi dalam isu identitas, atau justru masuk ke dalam arus pragmatisme politik, hal ini merupakan suatu tantangan bersar untuk dapat diatasi oleh mahasiswa. Marx mengingatkan bahwa kapitalisme memiliki kemampuan untuk mereproduksi dirinya dengan cara menghisap energi kritik lalu mengubahnya menjadi bagian dari sistem. Misalnya, ketika aksi mahasiswa hanya dipandang sebagai tren media sosial tanpa membangun organisasi yang kokoh, maka perjuangan itu mudah meredup. Selain itu, neoliberalisme pendidikan juga membuat mahasiswa semakin individualistis. Biaya kuliah yang tinggi, orientasi pada karier dan tekanan ekonomi keluarga bisa menggeser idealisme. Padahal, dari perspektif Marx, perjuangan membutuhkan kolektivitas, bukan sekadar aksi simbolik sesaat.
Kesimpulan
Jika kita melihat dengan kacamata Karl Marx, gerakan mahasiswa Indonesia adalah bagian dari proses panjang perjuangan kelas dan dialektika sejarah. Mahasiswa bukan proletariat kuno, tetapi mereka dapat menjadi intelektual organik yang membantu rakyat menyadari ketidakadilan struktural. Mereka adalah katalis yang mempercepat lahirnya perubahan sosial ketika kontradiksi antara penguasa dan rakyat mencapai puncaknya. Namun, tantangan besar ada di depan mata. Kapitalisme modern dan pragmatisme politik berusaha melemahkan daya kritis mahasiswa. Oleh karena itu, penting bagi mahasiswa untuk tetap menjaga kesadaran kritis, memperkuat organisasi dan menjalin solidaritas dengan rakyat. Dengan begitu, mereka tidak hanya menjadi saksi, tetapi juga aktor sejarah dalam mewujudkan masyarakat yang lebih adil. Gerakan mahasiswa Indonesia bukan sekadar fenomena musiman, melainkan bagian dari arus sejarah perjuangan manusia melawan ketidakadilan. Selama kontradiksi sosial tetap ada, gerakan mahasiswa akan selalu menemukan cara untuk tetap melawan.
Wawan Sutaji
Ombi
BalasHapus