Ambiguitas Kebebasan Berbicara

Beranda Literasi- Kebebasan berbicara sering kali dianggap sebagai jantung dari demokrasi. Tetapi dalam praktiknya, kebebasan itu jarang tampil dalam wujud yang tunggal dan jelas. Di Indonesia, sejak era reformasi kebebasan berbicara seakan dibuka lebar, namun bersamaan dengan itu pula lahir berbagai paradoks, batas, dan ambiguitas yang membuat kita bertanya apakah benar ruang demokrasi kita semakin matang, atau justru terkikis oleh dinamika yang membatasi makna kebebasan itu sendiri? Untuk menjawab pertanyaan ini, saya ingin mengajak anda untuk melihat pemikiran Ronald Dworkin, seorang filsuf hukum yang membicarakan isu tentang pentingnya kebebasan berbicara sebagai fondasi deliberasi demokratis serta mengingatkan bahwa kebebasan itu rawan erosi ketika ruang publik kehilangan arah moralnya.

Ambiguitas Sebagai Erosi Ruang Deliberatif

Demokrasi bagi banyak pemikir, bukan sekadar mekanisme pemilihan umum atau prosedur formal pergantian kekuasaan. Ia adalah ruang deliberatif, tempat warganya saling berbicara, menguji argumen dan mencari dasar bersama bagi keputusan publik. Ronald Dworkin menempatkan kebebasan berbicara di pusat arena ini. Tanpa kebebasan berbicara, deliberasi hanyalah ritual kosong yaitu suara mayoritas tak lagi bisa diuji dan minoritas tak punya kesempatan untuk menawarkan alternatif moral atau politik.

Namun, yang menjadi soal di Indonesia adalah bagaimana kebebasan berbicara justru tampil dalam bentuk yang ambigu. Di satu sisi reformasi 1998 membuka keran ekspresi dengan deras seperti media yang bebas bermunculan, organisasi masyarakat tumbuh, kritik terhadap pemerintah menjadi sesuatu yang lumrah. Tetapi di sisi lain muncul regulasi yang kerap ditafsirkan sempit, seperti Undang-Undang ITE, yang sering dipakai bukan untuk melindungi ruang deliberasi, melainkan untuk membungkam suara yang dianggap mengganggu. Ambiguitas ini menandakan adanya ketegangan antara cita-cita demokrasi deliberatif dan praktik politik yang masih rentan pada represi.

Dworkin mengatakan bahwa kebebasan berbicara bukan sekadar ruang legalistik, melainkan ruang moral. Dalam Freedom’s Law (1996), ia menulis (Freedom of speech is not just a matter of what government may not do; it is a matter of what government must do to treat its citizens as moral agents). Pernyataan ini memberi penjelasan penting bahwa negara bukan hanya tidak boleh membatasi kebebasan, melainkan juga wajib memastikan warganya dapat berbicara sebagai agen moral yang setara.

Ketika kebebasan berbicara menjadi ambigu, misalnya karena suatu kritik politik bisa dianggap aspirasi wajar atau justru ujaran kebencian tergantung pada siapa yang menafsirkannya, maka kesetaraan itu runtuh. Warga mulai ragu apakah suara mereka akan dihargai atau justru menjadi boomerang hukum. Dalam situasi seperti ini, erosi deliberatif berlangsung pelan tapi pasti.

Di Indonesia, erosi itu tampak dalam pola berulang, sebagian orang merasa bebas berbicara, tetapi sebagian lain dibungkam dengan alasan mengganggu ketertiban. Media sosial yang semula diharapkan memperluas partisipasi publik justru berubah menjadi arena polarisasi yang mengaburkan deliberasi rasional. Kebebasan berbicara tetap ada, tetapi tidak lagi berfungsi menjaga vitalitas demokrasi.

Dimensi Moral Dan Masa Depan Demokrasi

Salah satu sumbangan penting Dworkin adalah gagasannya tentang kesetaraan moral. Menurutnya, demokrasi sejati hanya ada jika setiap warga diperlakukan sebagai individu yang setara dalam kapasitasnya berpartisipasi. Dalam Taking Rights Seriously (1977), ia menulis, (Government must treat those whom it governs as equals, not as instruments or obstacles or as members of some statistical category). Kalimat ini memperlihatkan bahwa kebebasan berbicara bukan hanya hak, tetapi mekanisme untuk menjaga martabat manusia agar tidak direduksi menjadi angka atau instrumen politik.

Indonesia masih berhadapan dengan tantangan tersebut. Suara kelompok minoritas agama, etnis atau gender sering kali dipersempit ruangnya. Dan yang paling miris adalah sering terjadi pembungkaman terhadap orang-orang yang kritis pada kebijakan pemerintah. Mereka yang berusaha menyuarakan kesetaraan justru dilabeli melawan budaya atau mengganggu stabilitas. Pada titik ini, ambiguitas kebebasan berbicara berubah menjadi cermin dari relasi kuasa yang timpang.

Erosi deliberasi tidak selalu hadir secara frontal. Ia bisa bekerja lewat regulasi ambigu, penegakan hukum yang selektif atau atmosfer ketakutan yang membuat warga memilih diam. Efeknya menjadi sama yaitu membuat ruang publik menyempit, suara kritis melemah dan demokrasi kehilangan vitalitasnya. Dalam perspektif Dworkin, demokrasi yang kehilangan ruang moral semacam ini hanya akan menjadi prosedur elektoral tanpa jiwa.

Namun, ambiguitas ini juga bisa dibaca sebagai peluang refleksi. Jika kita mau, ia dapat menjadi cermin untuk menegaskan kembali apa arti demokrasi bagi bangsa ini, apakah ia sekadar prosedur atau ruang moral yang menjamin kesetaraan setiap suara? Untuk itu, peran negara dan masyarakat sipil sama-sama penting. Negara harus menjamin ruang deliberasi yang adil, sementara masyarakat harus belajar mengelola kebebasan dengan tanggung jawab etis.

Dworkin menutup banyak refleksinya dengan optimisme bahwa hak dan kebebasan tidaklah statis, melainkan hasil dari interpretasi moral yang terus diperjuangkan. Dalam semangat itu, kebebasan berbicara di Indonesia tidak boleh dibiarkan tenggelam dalam ambiguitas. Ia harus dijaga sebagai ruh deliberasi yang memungkinkan demokrasi tumbuh, bukan sekadar bertahan hidup.

Penutup

Ambiguitas kebebasan berbicara di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sejarah politik, dinamika sosial dan relasi kuasa yang menyelimutinya. Namun dengan membacanya dari pandangan Ronald Dworkin, kita melihat bahwa ambiguitas itu bukan hanya persoalan hukum, melainkan persoalan moralitas demokrasi. Erosi deliberasi terjadi ketika kebebasan berbicara kehilangan maknanya sebagai penjaga kesetaraan moral. Mungkin pertanyaannya kini adalah apakah kita masih berani memperlakukan setiap suara warga negara sebagai setara dalam martabat, ataukah kita membiarkan ambiguitas terus mengikis demokrasi? Jawaban itu akan menentukan masa depan bangsa kita yang menjadikan negara sebagai rumah bersama yang demokratis.


Wawan Sutaji

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama