Puisi-puisi Wawan Sutaji (Jelita Purnama)


 

Suguhan untuk jelata

Sejak lahir kedunia

Aku berjalan dihari siang

Meminang segala senang

Mengelak dari tak enak

 

Sampai letih lesu meracunku

Terkapar dibawah langit

Dengan perasaan sengit

Menolak terik membakar kulit

 

Malam ku damba lebih sejuk

Memberi sedikit tenaga

Tuk sekadar merangkak dan meratap

Tapi terlalu gelap surga ku tatap

 

Aku terhenti disini

Memungut nafas batu dan debu

Yang begitu sesak menyiksa

Dan hanya itu suguhan untuk jelata


 

Napas dari langit

Napas segar langit

Berembus tembus kehulu

Menghalau segala nanar

Pandangku kembali binar

 

Berita putih awan ku baca

Bahwa masa lalu

Telah menjadi budak derita

Dan kesepian tak lagi bertahta

 

Direrumputan taman perbatasan

Terdengar langkah merpati

Menuju tempat berdesing

Tapi sudah tak asing

 

Saat ku lihat kuncup bunga

Mekar dicelah ranting

Dandelion yang mencintai hidup

Terbang kemanapun angin bertiup


Jelita Purnama

Jingga tak pudar setelah senja

Hanya beralih kelain mata angin

Memang itu warna yang sama

Mungkin ada yang sedikit lebih tua

 

Purnama bertangkup sempurna

Begitu jelita kau punya cahaya

Berpendar dilangit timur

Siap berjaga habisi malam buta

 

Tergoda aku sudah dari dulu

Meski kau tak pernah merayu

Sampai lebih tak peduli hari-hari

Kecuali untuk kau ku amati

 

Teramat ingin ku petik seluruhmu

Dan ku jadikan pelita kamar

Agar kau dan aku berselimut satu

Sialnya, aku tak mampu!


Pak Tani

Sinar mentari mendekatkan

Harapan dari hari yang jauh

Saat musim hujan padi ditanam

Petir dan air menari bersamaan

 

Benih kini batang menjulang

Telah bunga berubah jadi buah

Panjang tangkai tunduk berisi

Meski hijau kuning masih sedikit lagi

 

Nyanyian alam semakin merdu saja

Angin menyeru gugurkan daun

Hiasan jalan setapak menuju sawah

Ditepi hutan yang mengharum

 

Dan tepat pada hari panen raya

Kembali cinta membuat pak tani lupa

Bahka buta tak mampu melihat apa-apa

Selain mata anak-anaknya


Kabar Dari Gunung

Remang gunung ku pandang

Tinggi menusuk langit tak biru

Tercemari banyak kabut haru

Dari uap limbah yang dibuang kelaut

 

Sepasang mata membawa hasrat

Kepuncak sampai dengan cepat

Mencari ketenangan dari bising

Deru mesin dan kesombongan

 

Namun tak ada senyum pohonan

Ular dan tikus kerjasama

Menyelamatkan spesiesnya

Dari racun sampah plastik

 

Mereka bertapa di akar mawar

Yang tinggal satu-satunya

Sejenak aku turut berduka

Setelahnya ingin ku hujamkan

Segala cerita kejantung para raja

 

Puisi Karya Semesta

Bersama elegi

Sebait puisi

Ia letakkan

Di atas geladak

Sampan rapuh

Limbungan keluh

Bersama tugur

Merah anggur

Matahari tua

Dan kesepian

Putih dandelion

Aku mengeja

Setiap aksaranya

 

Kunang-kunang

Kunang-kunang digenggaman

Ku tangkap ia ketika hinggap

Didaun delima halaman rumah

Waktu orang belum asyik sendiri

 

Sinarnya tidak terlalu terang

Berkedip seirama detak jam

Tapi cukup untuk dikenang

Mekar berseri dalam ingatan

 

Ia tak lapuk digilas waktu

Meski tahun telah jauh meninggalkan

Seperti teman dan kampung halaman

Tetap seistimewa udara pagi

 

Tak ada apapun mampu mengganti

Dan tak juga masa lalu terulang kembali


Cerita Orang Hidup

Malam menggaungkan kesepian

Dingin membunuh dengan pelan

Pundak bercucuran keringat tak hangat

Gelisah pun menyusup keurat

 

Berdetak jantung lebih cepat dari berlari

Nafas tersendak pengap

Dalam gelap mata yang tertutup

Lidah kelu enggan mengucap maaf

 

Suara lain mendengung seperti dari setan

Berjam-jam terus menghujam

Dan hanya kata tenang

Sebagai tameng untuk bertahan

 

Ku kira ajal menjemput

Dan takut pada cerita maut

Versi orang yang masih hidup

1 Komentar

Lebih baru Lebih lama