Beranda Literasi- Seni, dalam tradisi manusia, selalu menjadi medium yang ambivalen, ia bisa menjadi jalan menuju kedalaman spiritual, namun juga dapat berubah menjadi jalan kesia-siaan. Jaipong sebagai seni tari dan musik khas Sunda, merupakan produk budaya yang lahir dari interaksi manusia dengan realitas kehidupan sosialnya. Di dalamnya terdapat ritme, gerakan tubuh, serta ungkapan estetik yang mencerminkan kearifan lokal. Namun pertanyaan filosofis muncul ketika seni ini dipandang dalam kacamata Islam, khususnya dalam wilayah teologi. Apakah Jaipong hanya ekspresi budaya duniawi semata, ataukah ia bisa dimaknai sebagai tanda menuju kesadaran akan Sang Pencipta.
Dalam teologi Islam, seni tidak pernah berdiri netral. Ia selalu berhubungan dengan tauhid, yakni pengakuan akan keesaan Allah sebagai pusat segala realitas. Segala aktivitas manusia, termasuk seni tari dan musik, ditimbang berdasarkan apakah ia mendekatkan manusia kepada Allah atau justru menjauhkan. Jaipong, sebagai bentuk seni yang menggabungkan tari dan musik, bisa dipahami dalam kerangka filosofis ini sebagai “ayunan tubuh” yang tidak semata mengikuti irama kendang, melainkan bisa dimaknai sebagai ritme keberadaan manusia di hadapan Allah. Gerak yang teratur, dinamis, dan penuh ekspresi dapat diinterpretasikan sebagai simbol bahwa hidup manusia sesungguhnya adalah tarian eksistensial di hadapan Tuhan.
Namun, teologi Islam juga menegaskan adanya batasan. Rasulullah pernah bersabda bahwa “akan ada dari umatku suatu kaum yang menghalalkan zina, sutra, khamar, dan alat musik.” Hadits ini menunjukkan adanya kehati-hatian terhadap seni musik dan tari yang bisa menjerumuskan pada kelalaian atau maksiat. Dengan demikian, persoalan Jaipong tidak terletak pada musik atau gerakan tubuh itu sendiri, melainkan pada niat, konteks, dan dampaknya. Bila ia dipertunjukkan dengan nuansa erotis atau berlebihan hingga melalaikan manusia dari mengingat Allah, maka ia jatuh pada wilayah yang tercela. Tetapi bila seni itu diarahkan untuk memperkuat identitas budaya, mengungkapkan rasa syukur, atau bahkan menjadi media dakwah kultural, maka ia bisa masuk ke wilayah yang bernilai positif.
Dari sudut pandang filosofis, seni Jaipong bisa ditarik dalam dialektika antara “jasmani” dan “rohani.” Gerakan tubuh dalam Jaipong adalah ekspresi jasmani, tetapi apakah ia dapat mengantarkan manusia pada kesadaran rohani? Islam mengajarkan bahwa tubuh manusia adalah amanah, dan setiap gerakannya seharusnya diarahkan untuk kebaikan. Dalam pengertian ini, Jaipong dapat dilihat sebagai simbol bahwa tubuh tidak harus terpisah dari spiritualitas; tubuh bisa menjadi bahasa yang mengungkapkan keindahan penciptaan.
Hal ini sejalan dengan firman Allah yang menegaskan bahwa Dia telah menciptakan manusia dalam bentuk yang paling indah. Maka, gerakan tari—apabila dibingkai dengan adab dan niat yang benar—dapat menjadi bentuk kontemplasi atas keindahan ciptaan.
Lebih jauh, Jaipong sebagai musik dan tari bisa dilihat sebagai ruang simbolik bagi manusia untuk memahami irama kosmos. Al-Qur’an menggambarkan bahwa seluruh alam bertasbih memuji Allah, meskipun manusia tidak selalu mendengarnya. Dalam perspektif ini, musik kendang dan rebab dalam Jaipong dapat dipahami sebagai upaya manusia menirukan harmoni kosmos, sebuah cerminan kecil dari keindahan semesta yang tunduk pada Sang Pencipta. Namun, harmoni itu tidak boleh berhenti pada kenikmatan estetik semata, melainkan harus diarahkan pada kesadaran teologis bahwa segala keindahan bersumber dari Allah.
Dalam ranah praksis, Jaipong menantang umat Islam untuk menimbang kembali relasi antara budaya lokal dan norma agama. Islam bukanlah agama yang menolak budaya, melainkan menyaringnya dengan prinsip tauhid dan akhlak. Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah itu indah dan mencintai keindahan.” Hadits ini membuka ruang bahwa seni, termasuk Jaipong, memiliki legitimasi selama keindahan yang ditampilkan tidak menyimpang dari akhlak mulia.
Pada akhirnya, Jaipong dapat dipandang sebagai simbol ketegangan filosofis antara dunia dan akhirat, antara tubuh dan ruh, antara budaya dan agama. Ia menantang umat Islam untuk tidak bersikap simplistis: bukan hanya menolak total atau menerima tanpa kritik, melainkan memaknai secara teologis. Filosofi Islam mengajarkan bahwa setiap bentuk seni harus diarahkan pada kesadaran tauhid. Bila Jaipong dapat menjadi sarana syukur, simbol kearifan, dan media dakwah kultural, maka ia layak dihargai. Tetapi bila ia menjerumuskan manusia pada kelalaian, maka ia patut dikritisi.
Dengan demikian, seni Jaipong dalam kacamata teologi Islam adalah cermin dari pergulatan manusia dalam mencari keseimbangan: bagaimana tubuh, musik, dan budaya dapat menjadi jalan menuju Allah, bukan sekadar hiburan yang melupakan-Nya. Filosofi ini menegaskan bahwa keindahan sejati bukanlah pada gerakan tari atau alunan kendang, melainkan pada harmoni jiwa yang selalu mengingat Tuhan di balik setiap denyut seni.
Wawan Sutaji