Di
dalam sebuah mobil tua berwarna hitam, Don Carlo mengamati keadaan
disekitarnya, kedua bola matanya melirik menyusuri ujung ke ujung jalanan gelap
dan sepi. Beberapa ekor tikus terlihat berkeliaran keluar masuk got, selain
tikus beberapa ekor kucing juga terlihat mengacak-ngacak tong sampah di sudut-sudut
gedung untuk sekedar mencari tulang ikan dan sisa-sisa makanan.
Sudah
puluhan tahun, Don Carlo menjalankan bisnis terlarang, dimulai dari jual-beli
obat-obatan terlarang, senjata, dan bahkan pembunuh bayaran. Ia bergabung
dengan sebuah organisasi mafia bernama The Red Dragon sejak seorang penjahat
merampok dan membunuh kedua orangtuanya. Ia bergabung dengan mafia dan
melakukan kejahatan untuk membuktikan bahwa ia pantas mendapatkan hukuman dari
Tuhan dengan sejak kecil kehilangan kasih sayang orang-tua. Maka dari itu ia
memutuskan menjadi orang jahat. Karena jika ia menjadi orang baik, ia selalu
berpikir seharusnya Tuhan tidak layak membiarkan kedua orangtuanya dibunuh oleh
seorang perampok.
Sementara
itu, lagu Speak Softly Love yang dinyanyikan Andy Williams terdengar
samar-samar keluar dari earphone yang menempel pada telinga Pedro yang juga
sedari tadi memegang cerutu yang sesekali ia hisap sehingga menimbulkan kepulan
asap. Sejak sebulan yang lalu, Pedro bergabung dengan The Red Dragon dan ditugaskan
menemani Don Carlo dalam beberapa transaksi.
Sejauh
ini, setiap transaksi yang selalu mereka lakukan terjadi di malam hari, sembbunyi-sembunyi,
selalu mulus dan tanpa kendala. Keberhasilan itu tak lepas dari pengalaman Don
Carlo yang sudah berpengalaman, sehingga transaksi gelap itu tidak diketahui
oleh polisi maupun mafia lain yang menguasai wilayah tempat transaksi gelap itu
dilaksanakan. Walaupun begitu, Don Carlo sudah masuk buku catatan kepolisisan
sebagai seorang yang menjadi target utama untuk ditangkap karena banyaknya
kejahatan yang ia perbuat.
“Apakah
itu orang yang kita tunggu?”. Tanya Pedro ketika melihat seorang lelaki
berjalan ke arah mereka.
“Bukan,
itu hanya pejalan kaki yang melintasi jalan ini. Orang yang akan menemui kita
berbadan tinggi, sedangkan orang itu bahkan disebut pendekpun tidak pantas”.
Jawab Don Carlo sambil memperhatikan lelaki pendek atau bahkan terlampau pendek
itu melewati mobil mereka. Ketika lelaki itu sudah jauh melewati mereka Don
Carlo berkelakar dengan mengatakan “Jika ada ukuran yang lebih menunjukan
kependekan maka orang itu ada pada ukuran dibawah pendek”. Pedro hanya
tersenyum sedikit menghargai atasannya itu walaupun sebenarnya itu bukan sesuatu
yang lucu.
Mereka
memang lebih awal sampai ditempat yang telah ditentukan, sekitar setengah jam
dari waktu yang disepakati tempo hari. Don Carlo sendiri tidak menyukai
keterlambatan, karena ia berpikir sedikit waktu yang dilewati bahkan walau
hanya sedetik. Itu akan memepengaruhi keadaan yang telah direncanakan.
Bayangan
masa lalu terus menghantui Don Carlo bahkan sampai mempengaruhi cara
berpikirnya tentang hidup. Ia pernah bercerita pada Pedro bahwa kejadian yang
menimpa kedua orangtuanya adalah hasil dari keterlambatan dirinya melakukan
suatu hal, andai saja waktu kecil ia tidak terlambat menggunakan pakaian pesta,
sudah pasti ketika perampok itu menjarah rumahnya ia dan kedua orangtuanya
sudah berangkat, sehingga walaupun terjadi perampokan dirumahnya, setidaknya
orangtuanya tidak terbunuh. Karena keterlambatan itulah, kedua orangtuanya
menunggu lebih lama dari waktu yang seharusnya, sehingga ketika perampok itu
beraksi, mereka yang seharusnya sudah berangkat, masih berada di rumah menunggu
Don Carlo berpakaian.
Waktu
terus berjalan, kedua mafia itu masih menunggu dengan sabar. Lagu demi lagu
sudah silih berganti terdengar keluar dari earphone Pedro. Dan rokokpun sudah
tidak terhitung berapa batang yang mereka hisap. Don Carlo beberapa kali
melihat arloji yang melingkar pergelangan tangan kirinya, dan waktu sudah
menunjukan lebih dari lima menit dari yang ditentukan.
Dari
kejauhan mulai terlihat seorang lelaki berbadan tinggi, menggunakan tuxedo
hitam dan mawar merah terselip di kantong kanannya. Ia berjalan dengan membawa
koper hitam yang ditaksir oleh Don Carlo adalah koper berisikan uang untuk
menebus senjata dan kokain yang mereka bawa.
“Apakah
ini orangnya”. Kembali Pedro bertanya
“Ya,
ini orangnya. Ia berbadan tinggi”. Ucap Don Carlo yang segera mengambil barang
di bagasi mobil.
Setelah
mereka bertemu, transaksi dilakukan secara cepat. Kedua pihak memeriksa barang
yang akan ditukarkan, Pedro memeriksa koper yang dibawa si lelaki tinggi itu
untuk memeastikan itu uang asli, dan si lelaki berbadan tinggi memeriksa barang
yang dibawa Don Carlo untuk memastikan senjata dan kokain yang akan dibelinya
merupakan barang yang sesuai dengan barang yang disepakati tempo hari.
Ketika
si lelaki berbadan tinggi itu selesai memeriksa barang, dengan cepat Don Carlo
mengeluarkan pistol yang dibawanya dan mengarahkannya pada jantung si lelaki
berbadan tinggi itu. Sedetik kemudian Don Carlo menarik pelatuknya, tanpa kata
dan gerakan si lelaki berbadan tinggi itu langsung tumbang, dengan cepat darah
keluar dari jantungnya mewarnai pakaian putih yang dikenakannya di dalam
tuxedo.
“Mengapa
kau menembaknya?”. Pedro bertanya dengan sedikit perasaan cemas dan kaget.
Selama menemani Don Carlo, ia memang baru kali ini melihat pembunuhan langsung
di depan matanya, biasanya ia hanya menemani dalam transaksi jual-beli barang
terlarang. Tidak sampai menemani dan melihat pembunuhan, walaupun ia tau suatu
saat jika terus menemani Don Carlo mau tidak mau pembunuhan akan menjadi
sesuatu hal yang biasa dalam kehidupannya.
“Sudah
sering aku mengatakan bahwa waktu akan mempengaruhi apa yang akan terjadi, dia
terlambat lima menit dari waktu yang ditentukan. Maka dari itu pengaruh dari
keterlambatan itu adalah kematiannya”. Jawab Don Carlo “Sekarang kita tinggal
fokus pada pengaruh lain dari keterlambatan itu dan mencoba mengurangi resiko
yang tidak kita inginkan”. Sambung Don Carlo.
Dengan
detak jantung yang masih tidak beraturan dan rasa tidak percaya, Pedro segera
menarik mayat si lelaki berbadan tinggi itu ke arah yang lebih sepi dan gelap. Setelah
itu ia segera masuk kedalam mobil dan segera menyalakannya.
“Kau
takut Pedro?”.
Pedro
menggelengkan kepala, tangannya masih bergetar dengan hebat, ia segera
menyalakan rokok, dan beberapa kali rokok yang dipegangnya jatuh karena tidak
terkendali dengan getaran kuat tangannya. Setelah rokok itu berhasil ia hisap
barulah tubuhnya mulai terkendali lagi.
“Apakah
kau takut dengan kejahatan yang kita perbuat?”. Kembali Don Carlo bertanya
untuk memastikan. Masih tanpa suara, kali ini Pedro menganggukan kepala sebagai
isyarat bahwa ia merasa takut.
“Ini
bukan sebuah kejahatan, tapi ini adalah siasat untuk bertahan hidup. Kau tau
sendiri kan bahwa pada perang yang terjadi selama berabad-abad sejarah manusia,
siasat diperbolehkan dalam peperangan”.
“Tapi
kita tidak sedang berperang”. Saut Pedro yang mulai kembali bisa berbicara.
“Kau
salah Pedro, pada hakikatnya hidup ini adalah peperangan. Setiap waktu yang
terjadi dalam hidup ini adalah cerita tentang pertikaian, perkelahian, dan
pertempuraan. Jikapun tidak secara langsung, bahkan pada saat tertentu kita
selalu bertikai dengan persaan, pikiran, dan hati kita. Tidak Pedro, ini kita
tidak sedang menjalankan kejahatan, kita hanya sedang bersiasat dalam perang.
“Lagipula,
tidak hanya kita yang melakukan hal yang kau anggap jahat ini. Tapi semua
orangpun melakukannya, hanya saja mereka melakukan kejahatan dengan cara yang
lembut, tersembunyi, dan tak disadari. Seorang pemimpin yang terus-terusan
korupsi, seorang pemuka agama yang menjual dalil-dalil ilahi, seorang petugas
negara melakukan pungutan liar, belum lagi yang kau lihat sendiri dalam
masyarakat, baik cakupan yang besar maupun kecil. Semua orang tak lepas dari
melakukan kejahatan. Jadi ketika nilai baik sudah tidak ada lagi, semuanya jadi
tidak berarti karena semuanyapun melakukan hal yang sama. Apa yang kita lakukan
seperti penipuan, perampokan, dan pembunuhan. Adalah juga apa yang mereka
lakukan, bedanya adalah pada kesempatan, pada satu waktu kita berkesempatan
sebagai subjek dan pada kesempatan lain adalah objek”. Don Carlo berbicara
dengan panjang lebar, sehingga Pedro tidak sempat menginjak pedal gas mobil
yang mereka kendarai, karena tidak ingin sedikitpun kehilangan pendengaran dari
yang Don Carlo katakan.
Ketika
berhenti berbicara Don Carlo tidak menyadari bahwa sudah ada enam mobil polisi
yang mengungkung mobilnya. Pedro pun hanya diam membisu, bahkan tidak ada upaya
darinya untuk mencoba melarikan diri. Pedro hanya sempat menghisap rokok yang
ada di tangannya dan berkata “Kau benar, bahwa waktu yang terlambat sedetik
saja bisa mempengaruhi keadaan. Jika saja kau tidak menembak si lelaki berbadan
tinggi itu. Kita sudah pergi dari tempat ini dan tidak akan memberikan polisi
mengepung kita”.
“Sial”.
Ucap Don Carlo sambil tersenyum
Polisi
segera mengeluarkan kedua mafia itu, dan memborgol Don Carlo. Polisi berjalan
melewati Pedro sambil membawa Don Carlo yang tangannya sudah terborgol.
“Terima
kasih Pedro, selama satu bulan ini kau telah memata-matai si bandit ini. Dan
malam, ini pekerjaanmu sangat bagus dengan membocorkan informasi tentang transaksi
gelapnya”. Ucap salah seorang polisi sambil menepuk-nempuk Pundak Pedro.
Don
Carlo memandang tajam kearah Pedro
“Seperti
apa yang kau katakan, hidup ini adalah peperangan. Dan ini bukan kelicikan tapi
hanya siasat. Dan siasat diperbolehkan dalam sebuah perang”. Ucap Pedro sambil
tersenyum.
Mendengar
itu Don Carlo menyunggingkan senyum, dan beberapa saat kemudian tawa yang keras
dan lepas keluar dari mulutnya.
Rizki Mohammad