Kebahagiaan di Era Media Sosial Menurut Stoisisme



Beranda Literas- Kebahagiaan pertama kali dibahas secara sistematis oleh Aristoteles filsuf yang hidup dua puluh empat abad yang lalu, tema tentang kebahagiaan ini kemudian seperti menjadi abadi dalam sejarah filsafat. Tujuan akhir manusia menurut Aristoteles adalah eudaimonia. Di era modern, kesejahteraan psikologis dikaitkan dengan kebahagiaan manusia yang terus berupaya menemukan arti tentang apakah "hidup baik" itu? Dan Persoalan kebahagian menjadi semakin komplek di era sosial media hari ini. Respon publik dalam bentuk "like dan komentar" yang banyak dan positif menjadi tolak ukur kepuasan. kita terkadang lupa bahwa semua itu hanyalah dunia virtual, tapi cukup memenuhi kepuasan kita dan apakah kebahagiaan di era sosial media hanyalah ilusi? 

Saya ingin menjawab pertanyaan itu dengan cara stoisisme yang berpandangan bahwa kebahagiaan terletak pada  penguasaan diri dan hidup seimbang dengan alam, para filsuf stoik percaya bahwa penderitaan dan kebahagiaan manusia bergantung pada bagaimana cara manusia itu menilai dunia, artinya kebahagiaan atau penderitaan yang kita dapatkan bukan datang dari luar. Segala sesuatu yang menempel pada kita seperti kekayaan, reputasi dan status sosial, harusnya tidak menentukan kebahagiaan sejati. Tapi menurut Stoisisme yang bena-benar penting itu ialah kemampuan diri dalam mengendalikan pikiran dan emosi dalam mengahadapi segala peristiwa (Virtue).

Di sisi lain, media sosial menjadi budaya pamer, mungkin kita juga pernah terjebak oleh itu dan meletakan kebahagiaan di luar dari diri kita. Kebahagiaan dijadikan bukan hanya suatu proyeksi melainkan sengaja dikontruksi, dengan citra yang dipamerkan. Pencapaian karier, liburan ke tempat elite, fisik yang ideal dan memakai barang mewah seoalah menjadi simbol kebahagiaan. Kebahagiaan di sini tidak lagi hadir sebagai pengalaman batin, tapi performa publik. Kita luput untuk bertanya, apakah orang yang menampilkan keceriaan dalam poto dan vidionya yang diunggah itu benar-benar bahagia, atau hanya membangun citra agar terlihat bahagia? Stoisisme dan budaya pamer seperti ini sangat bertentangan dan mengungkap paradoks zaman digital. Batas antara kenyataan dan ilusi menjadi kabur di sosisal media, semua yang ditampilkan di sosial media hampir hasil dari pemilihan untuk menampilkan yang terbaik, dan kita menganggapnya sebagai suatu kebahagiaan. Tapi bukan tidak mungkin kenyataan dibalik semua itu adalah suatu kecemasan sosial, karena apa yang akan ditampilkan di sosial media harus selalu menjurus pada citra bahagia dan harus selalu dipertahankan demi sebuah validasi eksternal yang bersifat fana dan sudah pasti menciptakan kebahagiaan rapuh yang terus dikejar.

Fenomena ini mungkin akan dikecam oleh Stoisisme karena Bagi seorang Stoik, ketergantungan pada validasi publik adalah bentuk perbudakan batin. Seperti yang diucapkan Epiktetos, budak nasib dalah orang yang selalu menaruh kebahagiaan di luar dirinya sendiri. Tepi sosial media membuat jebakan yang halus, sebagian orang di sosial media, mengukur kebahagiannya dengan algoritma dan angkat-angka yang selalu berubah-ubah. Oleh karena itu kebahagiaan di media sosial menjurus pada ilusi kolektif, hanya bayangan rapuh yang jauh dari inti kehidupan. Tapi, apakah sosial media berarti meniadakan kebahagiaan sepenuhnya? Jika kita melihat ini dengan pandangan Stoik, kebahagiaan akan tetap mungkin ada, sosial media adalah sesuatu yang netral, tidak memiliki kuasa sepenuhnya terhadap hidup kita, tanpa kita memberikan kuasa kepadanya. Kita harus seperti Stoik modern yang tidak mau terjebak ke dalam budaya pamer, yang berbagi postingan bukan mencari pengakuan melainkan ingin memberi nilai. Kita harus sadar bahwa kebahagiaan tidak untuk ditunjukan, tapi cukup dirasakan dalam pencapaian kesesuaian pikiran, ucapan dan tindakan.

Dari apa yang telah kita bicarakan ini, pertanyaan tentang apakah kebahagiaan di era sosial media hanyalah ilusi? Kita akan dengan gamblang menjawab "iya", jika kebahagiaan sepenuhnya kita serahkan dan ditentukan oleh hal diluar diri kita, dalam hal ini citra dan validasi. Tapi kita juga akan dengan berani menjawab "Tidak" jika kita memegang teguh prinsip bahwa kebahagiaan yang sesungguhnya berakar pada batin yang tenang, seperti ajaran para Stoik. Jalan alternatif yang ditawarkan Stoik adalah sebuah seni yang membebaskan kita dari ilusi dan menuntun kita pada kebahagiaan yang sesungguhnya di tengah gempuran budaya narsistik sosial media.


Wawan Sutaji

1 Komentar

Lebih baru Lebih lama