Hilangnya Kesadaran Tauhid Dalam Krisis Biodiversitas

 

Pendahuluan

Krisis lingkungan yang melanda dunia dewasa ini termasuk Indonesia, tidak bisa dipahami hanya sebagai problem teknis atau ekologis semata. Hilangnya hutan, punahnya spesies dan rusaknya ekosistem memang tampak sebagai persoalan biologis, tetapi sesungguhnya ia menyingkap problem yang lebih dalam yaitu krisis spiritualitas manusia modern. Seyyed Hossein Nasr, salah satu pemikir Islam kontemporer terkemuka dalam bidang filsafat dan ekoteologi, berulang kali dengan tegas menyebut bahwa akar masalah lingkungan adalah hilangnya kesadaran sakral manusia terhadap alam.


Indonesia, dengan statusnya sebagai salah satu negara megabiodiversitas, menghadapi ironi besar. Negeri yang menyimpan kekayaan hayati luar biasa kini menjadi episentrum kepunahan spesies. Kehilangan biodiversitas di tanah air tidak hanya menimbulkan kerugian ekologis dan ekonomi, tetapi juga menyingkap retaknya fondasi teologis, dalam arti hilangnya kesadaran tauhid yang seharusnya menuntun relasi manusia dengan ciptaan yang lain. Tulisan ini berusaha membaca krisis biodiversitas Indonesia dalam bingkai pemikiran Nasr, untuk menyingkap dimensi spiritual yang terlupakan.


Alam sebagai Ayat Tauhid yang Terlupakan

Dalam pandangan Nasr, alam bukanlah benda mati atau sekadar objek eksploitasi. Alam adalah ayat-ayat Tuhan yang terbentang di hadapan manusia. Dalam Man and Nature, Nasr menulis, Alam adalah wahyu kedua, kitab terbuka yang di dalamnya tertulis tanda-tanda Tuhan. Dengan kata lain, setiap pohon, hewan dan sungai memiliki nilai sakral, karena mereka adalah cermin tauhid.


Di Indonesia, hilangnya biodiversitas justru memperlihatkan betapa kesadaran teologis ini telah memudar. Harimau Sumatra, badak Jawa dan orangutan Kalimantan hanyalah tiga dari sekian banyak spesies yang menghadapi kepunahan akibat perburuan, deforestasi dan konversi hutan. Ketika spesies-spesies ini hilang, yang punah bukan hanya makhluk biologis, tetapi juga ayat-ayat kosmik yang menunjukkan kebesaran Sang Pencipta.


Bagi Nasr, tragedi ekologis ini sesungguhnya adalah tragedi spiritual. Ia menyebutnya sebagai desakralisasi alam yaitu dimana keadaan ketika manusia tidak lagi melihat kosmos sebagai bagian dari tauhid, melainkan hanya sebagai sumber daya. Al-Qur’an sendiri mengingatkan kepada kita bahwa segala yang ada di langit dan bumi bertasbih kepada Allah (QS. 24:41). Jika manusia merusak dan melenyapkan ciptaan lain, berarti ia menghapus suara-suara tasbih kosmik yang menjadi bagian dari simfoni tauhid.


Tauhid Kosmik sebagai Jalan Keluar

Nasr menawarkan kerangka teologi yang ia sebut sebagai tauhid kosmik. Bagi Nasr, tauhid bukan hanya prinsip metafisis tentang keesaan Tuhan, tetapi juga dasar kosmologis tentang kesatuan ciptaan. Dalam Religion and the Order of Nature ia menulis; Krisis ekologi modern adalah akibat manusia melepaskan diri dari tatanan kosmik, ia lupa bahwa menjadi khalifah berarti hidup dalam harmoni, bukan mendominasi.


Dari perspektif ini, kehilangan biodiversitas di Indonesia menunjukkan pengkhianatan manusia terhadap amanah khalifah. Alih-alih menjaga keseimbangan ciptaan, manusia justru terjebak dalam logika ekonomi dan politik yang memandang hutan, gunung dan laut hanya sebagai tambang, dan juga hewan yang hanya sebagai komoditas. Hilangnya kesadaran tauhid merupakan sebab yang menjadikan manusia sebagai predator, bukan penjaga.


Jalan keluar yang ditawarkan Nasr bukan semata strategi konservasi teknis, melainkan revitalisasi spiritualitas tauhid. Artinya, upaya melindungi biodiversitas harus ditempatkan dalam horizon ibadah. Menyelamatkan harimau Sumatra bukan sekadar menjaga ekosistem, tetapi juga menjaga ayat Tuhan. Melestarikan terumbu karang bukan hanya untuk pariwisata, tetapi sebagai bentuk dzikir ekologis.


Indonesia sesungguhnya memiliki tradisi yang sejalan dengan gagasan ini. Praktik lokal seperti “sasi” di Maluku atau “hutan larangan” di Jawa menunjukkan bahwa masyarakat Nusantara dahulu melihat alam sebagai wilayah sakral yang tidak bisa dieksploitasi semena-mena. Dalam kacamata Nasr, tradisi semacam ini adalah bentuk lokal dari tauhid kosmik. Jika disinergikan dengan teologi Islam yang menempatkan manusia sebagai khalifah, maka lahirlah paradigma ekoteologi khas Nusantara yaitu suatu pandangan yang memandang biodiversitas sebagai amanah Ilahi yang wajib dijaga.


Penutup

Kehilangan biodiversitas di Indonesia adalah tragedi yang lebih dalam daripada sekadar bencana ekologis. Ia adalah tanda dari hilangnya kesadaran tauhid dalam relasi manusia dengan alam. Dalam kacamata Seyyed Hossein Nasr, setiap spesies adalah ayat Tuhan, bagian dari teks kosmik yang bertasbih. Jika spesies itu punah berarti hilangnya sebagian huruf dari kitab Ilahi yang terbentang. Solusi atas krisis ini tidak bisa berhenti pada pendekatan teknis, melainkan harus berakar pada teologi. Revitalisasi tauhid kosmik yaitu dengan melihat alam sebagai bagian dari dzikir universal kepada Tuhan, dapat menjadi fondasi baru bagi konservasi di Indonesia. Dengan cara itu, menjaga biodiversitas tidak hanya menjadi kewajiban ekologis, tetapi juga ibadah teologis.


Wawan Sutaji

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama