Beranda Literasi- Hidup manusia tak pernah berdiri sendiri, setiap orang lahir di sebuah jalinan waktu yang lebih tua darinya. Kita dilahirkan oleh satu generasi, dibesarkan oleh generasi lain dan kelak akan meninggalkan jejak untuk generasi sesudah kita. Maka setiap langkah dalam hidup sesungguhnya adalah langkah yang menjadi jejak di antara lapisan generasi, ada yang sudah usang, ada yang baru lahir dan ada yang masih akan datang. Pertemuan ini bisa dibilang tak pernah sederhana, sebab di dalamnya terkandung bernagai benturan nilai, perbedaan cara pandang, bahkan pertarungan yang tak kasat mata tentang siapa yang berhak menafsirkan dunia.
Kita sering mendengar keluhan jika anak-anak muda sekarang tidak tahu sopan santun atau terlalu bebas. Pada saat yang sama, anak-anak muda menganggap orang tua terlalu kolot, mengikat dengan aturan yang sudah tidak ketinggalan zaman dan seperti menolak perubahan. Kedua suara ini seolah tak pernah habis diulang. Seakan-akan di setiap masa, manusia selalu menemukan alasan untuk menyalahkan generasi yang lain. Yang menjadi Pertanyannya adalah apakah konflik itu hanya kesalahpahaman, atau justru kodrat dari hubungan antar generasi itu sendiri?
Jika kita telisik lebih jauh, hubungan antar generasi bukan semata tentang siapa lebih benar, tetapi tentang bagaimana manusia menghadapi waktu. Generasi tua hidup dengan ingatan dan generasi muda berpegang pada kemungkinan. Yang tua berkata, lihatlah sejarah, belajarlah dari pengalaman. Tapi yang muda menganggap sejarah adalah beban dan ingin menciptakan masa depan. Maka di sini, bukan hanya perbedaan umur yang berbicara, melainkan perbedaan orientasi, yang satu menoleh ke belakang, yang lain menatap ke depan. Di sini waktu menjadi seolah netral, tetapi memisahkan manusia dalam arah yang berlawanan.
Namun apakah mungkin kita hidup hanya dengan ingatan? Tanpa harapan, manusia akan kehilangan daya untuk berjalan. Sebaliknya, apakah mungkin kita hidup hanya dengan harapan? Tanpa pengalaman, manusia akan terjatuh pada kesalahan yang sama. Pada titik ini kita menemukan ironi, generasi yang berbeda sesungguhnya saling membutuhkan, tetapi sering kali gagal untuk saling mendengarkan. Yang tua takut kehilangan otoritas dan yang muda takut kehilangan kebebasan. Dalam ketakutan inilah lahir jurang yang sulit untuk diseberangi.
Michel Foucault pernah menulis tentang bagaimana kekuasaan bekerja bukan hanya lewat hukum, melainkan lewat wacana, kebiasaan, dan pola pikir. Jika kita terapkan pada relasi antar generasi yang menjadi masalah tadi, maka jelaslah bahwa perbedaan itu bukan sekadar masalah umur. Generasi yang lebih tua membawa wacana tertentu, cara melihat dunia yang mereka anggap alamiah. Generasi muda, dengan caranya sendiri, mencoba meruntuhkan wacana itu atau setidaknya mengganti dengan yang baru. Pertarungan ini kadang halus, terjadi lewat percakapan di meja makan, kadang menjadi keras, dengan jalan revolusi sosial. Tetapi ia selalu ada, karena generasi baru tidak bisa sepenuhnya hidup dalam bayang-bayang generasi lama dan generasi lama tidak pernah rela melepaskan implikasinya.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana kita hidup dengan benturan itu? Apakah jalan terbaik adalah patuh pada orang tua, mengubur perbedaan ataukah melawannya demi suatu kebebasan penuh? Mungkin jawaban yang lebih bijak terletak di luar kedua ekstrem itu. Filsuf hermeneutik Hans-Georg Gadamer pernah menyinggung pentingnya fusi horizon, maksudnya adalah perjumpaan dua cara pandang berbeda yang saling menerangi, bukan saling meniadakan. Hubungan antar generasi seharusnya menjadi semacam percakapan panjang, di mana yang lama dan yang baru saling mengoreksi, saling memberi, saling menguji. Tentu tidak mudah, sebab percakapan itu membutuhkan kesabaran, kerendahan hati serta keberanian untuk mengakui keterbatasan diri.
Saya ingin memperlihatkan contoh sederhana, seorang ayah yang lahir di tahun 1960-an, terbiasa hidup hemat, bekerja keras dengan tubuhnya, memiliki kepercayaan bahwa rezeki itu harus dicari dengan keringat. Sementara anaknya yang lahir tahun 2000-an, beranggapan jika hidup di dunia yang serba canggih ini percaya, bahwa uang bisa datang dari kreativitas, dari ide, bahkan dari hal yang tak terlihat. Di mata sang ayah, anaknya malas, tidak sungguh-sungguh. Sebaliknya, di mata si anak, ayahnya kuno, tidak mengerti dunia baru. Kedua-duanya merasa benar. Padahal, jika mau mendengar, si ayah bisa melihat bahwa kerja tidak selalu harus berbentuk fisik dan si anak juga bisa belajar bahwa kreativitas pun butuh disiplin dan kesungguhan. Yang hilang di sini bukan kebenaran, melainkan kesediaan untuk saling mendengarkan.
Tetapi adakah ruang yang cukup untuk saling mendengarkan di tengah ritme hidup kita yang cepat? Sering kali tidak. Kita lebih senang mengunci diri dalam keyakinan generasi masing-masing. Orang tua berkumpul dengan sesama orang tua, saling menguatkan bahwa dunia memang sudah rusak. Anak muda berkumpul dengan sesamanya, saling menguatkan juga bahwa orang tua memang tidak tahu apa-apa. Pola ini melahirkan semacam ruang gema antar generasi, yang kemudian di dalam ruang itu, suara sendiri terdengar semakin keras tapi suara generasi lain menjadi semakin samar. Akibatnya, bukannya percakapan yang terjadi, tetapi malah menjadi monolog ganda yang saling berseberangan.
Lalu, apa yang sesungguhnya dipertaruhkan dalam konflik ini? Apakah sekadar gaya hidup atau makna hidup itu sendiri. Generasi tua ingin memastikan bahwa jerih payah mereka tidak sia-sia serta nilai yang mereka jaga akan tetap hidup. Generasi muda ingin memastikan bahwa mereka bukan sekadar pewaris yang pasif, melainkan pencipta masa depan. Kedua kebutuhan ini sama-sama sahih, sama-sama manusiawi. Jika kita menolak salah satunya, kita merampas sisi kemanusiaan sebuah generasi.
Mungkin di sinilah kita perlu merenung sejenak dan bertanya, apakah tujuan hubungan antar generasi hanyalah mewariskan, atau justru mencipta bersama? Jika hanya mewariskan, maka yang tua memegang kuasa penuh dan yang muda hanya penerima. Tetapi jika mencipta bersama, maka warisan tidak lagi dipandang sebagai beban, tetapi juga bahan untuk membangun sesuatu yang baru. Dalam pandangan ini, hubungan antar generasi bukan lagi pertarungan, melainkan kerja sama yang tak pernah selesai. Yang tua memberi fondasi, yang muda membangun dinding dan jendela dan kelak yang lebih muda lagi yang akan menambahkan atapnya. Bangunan itu tak pernah final, tetapi selalu tumbuh.
Namun, bagaimana jika jurang itu terlalu lebar? Bagaimana jika generasi tua terlalu keras memegang otoritas, atau generasi muda terlalu cepat menolak warisan? Di sinilah muncul risiko keterputusan sejarah. Kita melihatnya dalam keluarga yang renggang, dalam masyarakat yang tercerai-berai, dalam bangsa yang kehilangan arah. Jika generasi tidak lagi saling menyapa, maka manusia hidup seperti potongan-potongan terpisah, bukan lagi bagian dari aliran waktu yang menyambung. Kehidupan kehilangan kontinuitas dan kita semua menjadi asing di tanah sendiri.
Karena itu, mungkin yang paling penting bukanlah menentukan siapa benar atau salah melainkan memulihkan ruang percakapan. Ruang di mana seorang kakek bisa bercerita tentang perang yang ia lalui dan cucu mendengarnya bukan sebagai cerita usang, melainkan sebagai bagian dari dirinya. Ruang di mana seorang anak bisa menceritakan mimpi-mimpi barunya dan ayah mendengarnya bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai janji kehidupan yang terus berjalan. Ruang itu sederhana, bisa berupa meja makan, obrolan sore, atau bahkan sekadar duduk bersama tanpa layar. Tetapi tanpa ruang itu, kita semua hanya akan berbicara kepada bayangan kita sendiri.
Pada akhirnya, hubungan antar generasi adalah cermin dari keberanian manusia menghadapi waktu. Kita bisa memilih untuk memutus atau kita bisa memilih untuk menyambungnya. Jika kita memutus, kita akan hidup dalam kesepian sejarah, seolah-olah kita adalah manusia pertama yang pernah ada. Jika kita menyambung, kita akan menemukan bahwa hidup ini lebih besar dari sekadar diri kita sendiri. Ada suara-suara lama yang tetap berbisik dalam diri kita dan ada gema masa depan yang sudah terdengar di telinga kita. Kita tidak pernah sepenuhnya milik masa lalu, dan tidak pernah sepenuhnya milik masa depan. Kita adalah jembatan dan tugas jembatan bukanlah memilih sisi mana yang lebih penting, melainkan memastikan keduanya tetap terhubung.
Wawan Sutaji