Hidup yang Layak Hanya Dijalani Sekali

 

Beranda Literasi- Setiap manusia menyadari meskipun sering kali berusaha melupakannya, bahwa hidup ini berakhir dengan kematian. Fakta ini begitu sederhana, sekaligus begitu mengguncang kita semua, cepat atau lambat, kita akan tiada. Ironisnya, kesadaran yang seharusnya menjadi pusat perhatian kita, justru sering tersingkirkan oleh rutinitas harian. Kita bekerja, bercita-cita, membangun relasi bahkan terlibat dalam hiruk-pikuk dunia, seakan-akan hidup ini berlangsung selamanya. Dari sini muncul pertanyaan tentang bagaimana cara hidup yang benar jika semua yang kita lakukan, semua yang kita bangun, ujung-ujungnya akan berakhir dalam kefanaan?


Filsuf Jerman, Martin Heidegger, dalam karya monumentalnya Being and Time, menawarkan jawaban yang berbeda dari sekadar penghiburan atau penyangkalan. Baginya, manusia adalah Sein-zum-Tode (ada menuju mati). Kematian bukan sekadar peristiwa biologis di ujung jalan, melainkan struktur mendasar dari eksistensi manusia itu sendiri. Hidup kita sejak awal sudah selalu bergerak ke arah kematian, dan kesadaran akan kenyataan itu seharusnya tidak menjadi keputusasaan, melainkan justru membuka kemungkinan bagi hidup yang lebih otentik.


Menghayati kematian bukan berarti terjebak dalam ketakutan akan akhir, melainkan belajar memandang hidup dalam keterbatasannya. Kesadaran bahwa waktu kita singkat membuat setiap detik menjadi bernilai. Bayangkan sebuah konser yang tidak pernah usai, alih-alih menikmati musik, kita justru bosan dan kehilangan rasa syukur. Hidup yang abadi mungkin terdengar indah, tetapi justru karena ada batas, setiap momen dalam hidup ini terasa mendesak, intens, dan bermakna. Heidegger mengungkapkan bahwa dengan menyadari kematian, manusia terlepas dari ilusi seakan-akan masih ada waktu tak terbatas untuk menunda, menangguhkan, atau hidup yang hanya mengikuti arus.


Namun, kebanyakan manusia memilih menutup mata dari kenyataan ini. Heidegger menyebutnya hidup dalam das Man yaitu hidup yang larut dalam kesibukan, menurut apa kata orang, dalam rutinitas tanpa refleksi. Kita bekerja tanpa henti demi harta yang tak pernah cukup, menumpuk pengakuan di media sosial, atau mengejar hiburan tanpa henti agar tak perlu berhadapan dengan kesunyian diri sendiri. Semua ini membuat kita lupa bahwa setiap gerak adalah langkah menuju mati. Dalam kepalsuan itulah, hidup bisa tampak penuh, tetapi sebenarnya kosong.


Sebaliknya, hidup otentik muncul ketika kita berani menatap kematian sebagai bagian tak terpisahkan dari eksistensi. Hidup otentik bukan berarti hidup tanpa kesalahan, melainkan hidup yang sadar akan keterbatasan waktu, sehingga berani menentukan arah sendiri. Kesadaran ini membuat kita berhenti menunda hal-hal yang penting. Kita berani menyatakan cinta, berani meminta maaf, berani berkarya meskipun tidak sempurna, dan berani menentukan jalan meskipun berbeda dari ekspektasi orang lain. Setiap keputusan kecil menjadi berarti karena kita tahu, kesempatan itu tidak akan ada selamanya.


Dalam pengalaman sehari-hari, kesadaran akan kematian bisa memunculkan cara pandang baru terhadap hal-hal sederhana. Sebuah percakapan dengan teman bisa menjadi lebih berharga jika kita sadar bahwa suatu saat ia tidak lagi ada. Sebuah pekerjaan yang tampak membosankan bisa dihayati sebagai kesempatan untuk memberi makna bagi orang lain. Bahkan penderitaan, dalam kacamata Heidegger, bisa dihayati secara berbeda yaitu bukan sekadar beban yang harus dielakkan, melainkan bagian dari keberadaan manusia yang harus ditanggung secara pribadi. Kematian bersifat personal karena tidak ada orang lain yang bisa mati menggantikan kita, maka demikian pula kehidupan. Tidak ada yang bisa sepenuhnya menggantikan cara kita memilih, cara kita menanggung, cara kita memberi arti.


Dari sini, kita mampu menemukan bahwa hidup yang benar dalam pandangan Heidegger bukanlah hidup yang mencari jawaban pasti di luar diri, melainkan hidup yang berani berdiri di hadapan kefanaan. Hidup yang benar berarti hadir sepenuhnya dalam saat kini, dengan kesadaran bahwa waktu kita terbatas. Ia berarti melepaskan obsesi pada citra dan pengakuan, lalu mengutamakan kualitas pengalaman, relasi dan karya. Ia berarti menolak hidup sekadar sebagai bagian dari kerumunan, dan berani menjalani hidup sebagai milik pribadi yang tak tergantikan.


Tentu menghadapi kematian bukan perkara mudah. Ada rasa takut, cemas, bahkan absurditas, untuk apa semua usaha jika pada akhirnya kita lenyap? Pertanyaan ini pernah juga diajukan oleh Albert Camus yang menyebut hidup itu absurd. Namun, justru dalam absurditas itu ada ruang bagi kebebasan. Heidegger pun sejalan dalam satu hal, bahwa kematian mengingatkan pada kita kalau kita ini adalah makhluk yang terbatas dan karena itu, setiap tindakan kita adalah keputusan yang otentik, bukan sekadar rutinitas yang kosong.


Dengan demikian, jawaban atas pertanyaan tentang bagaimana cara hidup yang benar kalau semua akan berakhir? Tidak terletak pada rumus universal yang berlaku untuk semua orang, melainkan pada keberanian masing-masing individu untuk menerima kefanaan sebagai bagian dari hidupnya. Kebenaran cara hidup itu lahir dari keberanian menghadapi kematian, bukan dari usaha menutupinya.


Yang akhirnya kesadaran bahwa kita adalah Sein-zum-Tode membuat kita lebih manusiawi. Ia menyingkirkan kesombongan, melembutkan sikap kita terhadap orang lain dan menajamkan penghargaan kita pada hal-hal kecil yang sebelumnya terabaikan. Justru karena kita akan mati, kita belajar menghargai kehidupan. Justru karena kita akan tiada, kita belajar mencintai dengan lebih sungguh-sungguh. Dan mungkin inilah arti terdalam dari hidup yang benar, bukan hidup tanpa akhir, melainkan hidup yang berani menerima akhir, lalu menjadikannya alasan untuk hadir sepenuhnya, di sini dan sekarang. Jika suatu hari kematian menjemput, kita tidak lagi menyesal karena tahu bahwa sepanjang perjalanan, kita telah berusaha hidup dengan sadar, jujur, dan otentik. Maka dengan cara itu, kefanaan tidak lagi tampak sebagai ancaman, melainkan sebagai penegasan bahwa setiap detik kehidupan memang berharga dan karena itu layak dijalani dengan sepenuh hati.


Wawan Sutaji

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama