Menunggu dan Kecemasan

 

Beranda Literasi- Menunggu sering dianggap sebagai aktivitas pasif, duduk, diam, mengisi waktu dengan apapun agar tidak terasa kosong. Namun, di balik kesederhanaannya, menunggu menyimpan pengalaman eksistensial yang sangat mendalam. Ia menempatkan kita pada situasi di mana waktu seakan melambat, masa depan masih gelap dan kepastian terasa begitu jauh. Dari sinilah kecemasan lahir. Søren Kierkegaard pernah mengatakan, manusia selalu berhadapan dengan kemungkinan, dan dari kemungkinan itulah kecemasan muncul. Menunggu, dalam arti yang paling jujur, adalah ruang di mana kemungkinan-kemungkinan itu terbentang tanpa arah yang jelas, membuat kita sadar bahwa masa depan bukanlah milik kita sepenuhnya.


Menunggu hasil ujian, kabar seseorang yang dirindukan atau keputusan penting dalam pekerjaan, semua contoh ini menghadirkan momen di mana kendali sepenuhnya lepas dari tangan kita. Kita bisa menyiapkan diri dengan maksimal, namun tetap saja ada jarak antara usaha dan hasil. Di dalam jarak itu, lahirlah kecemasan. Kecemasan bukan sekadar ketakutan, ia adalah perasaan rapuh saat berhadapan dengan yang belum datang, sesuatu yang belum bisa kita ketahui namun sudah cukup kuat untuk memengaruhi batin.


Kecemasan dalam menunggu memperlihatkan keterbatasan manusia. Kita sering membayangkan diri sebagai penguasa waktu dan perencana masa depan, padahal menunggu membuka tabir bahwa ada hal-hal yang sama sekali tidak berada dalam kuasa kita. Di titik ini, menunggu seolah menjadi semacam pengingat, kita hidup dalam dunia yang penuh kebetulan, interaksi, dan peristiwa yang tak dapat sepenuhnya dikendalikan. Apa yang kita tunggu mungkin datang sesuai harapan, mungkin juga meleset jauh dari perkiraan. Menunggu menelanjangi ilusi kontrol yang sering kita banggakan.


Namun kecemasan bukan hanya luka. Ia juga cermin yang jujur. Ketika kita menunggu, kita dipaksa berhadapan dengan diri sendiri, dengan ketidakmampuan kita menerima ketidakpastian, dengan kegelisahan yang sering kita sembunyikan, dengan pertanyaan-pertanyaan yang biasanya kita abaikan. Apa sebenarnya yang kita harapkan? Apakah harapan itu realistis atau sekadar bayangan yang kita paksakan? Menunggu menimbulkan semacam dialog batin, di mana kita harus jujur pada keterbatasan, sekaligus memutuskan bagaimana bersikap terhadapnya.


Kierkegaard menyebut kecemasan sebagai kemungkinan dari kebebasan. Menunggu, dalam kerangka itu, bukan hanya pengalaman terjebak, tetapi juga ruang yang memperlihatkan kebebasan kita. Kita tidak bisa mengendalikan hasil akhir, tetapi kita bisa memilih bagaimana merespons masa tunggu itu. Kita bisa larut dalam gelisah, atau kita bisa menjadikannya sebagai ruang refleksi. Kebebasan itu mungkin tampak kecil, tetapi justru di situlah letak martabat manusia, kemampuan untuk memilih sikap meski realitas di luar diri tak bisa dipaksa.


Menunggu juga menyingkap kualitas waktu yang berbeda. Dalam rutinitas sehari-hari, waktu terasa linier, terukur, dapat diprediksi. Namun saat menunggu, waktu berubah wajah. Satu menit bisa terasa seperti satu jam, sedangkan satu jam bisa terasa sekejap. Waktu dalam menunggu bukan sekadar hitungan angka, melainkan pengalaman batin yang elastis, cair, dan penuh ketegangan. Di sini kita menyadari bahwa waktu tidak hanya milik jam dan kalender, melainkan juga milik perasaan dan kesadaran kita sendiri.


Ada sisi lain yang sering terlupakan, menunggu bisa menjadi latihan untuk menerima keterbatasan. Manusia modern cenderung alergi terhadap ketidakpastian. Kita ingin semuanya cepat, instan, segera diketahui. Tetapi menunggu justru melatih kita untuk berhadapan dengan ruang kosong, dengan ketidakpastian yang tak bisa dipercepat. Dalam latihan itu, ada kemungkinan kita belajar tentang kesabaran, tentang kerendahan hati, dan tentang bagaimana menaruh diri dalam arus waktu tanpa selalu merasa berkuasa.


Tentu saja, menunggu tidak selalu indah. Ada bentuk menunggu yang melumpuhkan, ketika seseorang tidak berani mengambil langkah karena menanti sesuatu yang mungkin tidak pernah datang. Menunggu bisa berubah menjadi alasan untuk menunda kehidupan, untuk menolak mengambil keputusan, untuk menghindari tanggung jawab. Kecemasan yang seharusnya menjadi pemicu refleksi malah bisa membelenggu. Di sinilah pentingnya menyadari batas menunggu, kapan ia memberi ruang refleksi yang sehat dan kapan ia berubah menjadi pelarian dari kenyataan.


Dalam pengalaman sehari-hari, menunggu sering kali membawa kita ke titik jenuh. Namun, justru di sanalah ia menemukan nilainya. Menunggu membuat kita sadar bahwa masa depan bukanlah sesuatu yang bisa kita genggam penuh. Kita hanya bisa mempersiapkan diri, menjaga ketenangan dan merawat kesadaran, sementara hasil akhir tetap terbuka bagi berbagai kemungkinan. Kecemasan yang muncul di dalamnya adalah tanda bahwa kita masih hidup, bahwa kita masih peduli, bahwa kita masih menggantungkan diri pada sesuatu yang lebih besar dari sekadar momen sekarang.


Akhirnya, menunggu tidak bisa dipahami hanya sebagai waktu terbuang. Ia adalah pengalaman eksistensial yang memperlihatkan keterbatasan, membuka ruang refleksi, dan melatih kita hidup dalam ketidakpastian. Kecemasan yang menyertainya adalah bagian dari kondisi manusia yang tak bisa dihapus, tetapi bisa diolah. Menunggu mengingatkan kita bahwa hidup selalu berada di persimpangan kemungkinan, dan bahwa masa depan, seberapa pun kita usahakan, tidak pernah sepenuhnya menjadi milik kita.


Menunggu, dengan segala kecemasan yang menyelimutinya, adalah pengalaman yang menyakitkan sekaligus mendewasakan. Ia menyingkap rapuhnya manusia, tetapi juga memberi kesempatan untuk mengenali diri lebih dalam. Menunggu, pada akhirnya, bukan hanya soal menantikan apa yang akan datang, melainkan cara kita menghadapi masa depan yang selalu terbuka, sebuah masa depan yang tidak pernah bisa kita kuasai sepenuhnya, namun tetap bisa kita sambut dengan kesadaran dan kesiapan.


Wawan Sutaji

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama