Beranda Literasi- Auguste Comte menempatkan dirinya di ujung transisi intelektual besar, dari dunia yang dijelaskan oleh para imam dan mitos, menuju dunia yang hendak dipahami melalui hukum-hukum yang dapat diuji. Dalam skema tiga tahapnya yaitu teologis, metafisik, dan positif, tahapan metafisik tidak dipandang sebagai tujuan akhir, melainkan sebagai fase peralihan yang diperlukan. Dalam pembahasan ini saya coba untuk menelusuri fungsi metafisika menurut Comte, apakah sekadar jembatan rapuh atau justru ruang penting yang membentuk landasan berpikir ilmiah.
Pada tahap teologis, segala fenomena alam dan sosial ditafsirkan melalui agen-agen supernatural. Seperti petir adalah murka dewa, penyakit adalah kutukan. Narasi ini memberi makna dan rasa aman, ia merajut pengalaman manusia ke dalam jaringan mitos yang koheren. Namun ketika pencerahan intelektual dan perkembangan empiris mulai menantang penjelasan semacam itu, muncul kebutuhan akan penjelasan yang kurang bergantung pada personifikasi alam dan lebih bergantung pada prinsip-prinsip umum. Di sinilah metafisika muncul, tidak lagi memanggil dewa, tetapi memperkenalkan konsep-konsep abstrak, hakikat, substansi, prinsip sebagai alat untuk berpikir tentang keteraturan.
Menurut Comte, tahap metafisik adalah suatu fase di mana akal manusia melepas figur-figur teologis, namun belum sepenuhnya mengandalkan pengamatan sistematis dan verifikasi. Alih-alih fenomena diatributkan ke entitas supranatural, metafisika mengalihkan penjelasan ke kategori-kategori yang lebih abstrak yaitu gaya, kekuatan dan esensi. Pengganti nama-nama dewa bukanlah eksperimen, melainkan konstruksi konsep. Metafisika mengizinkan pemikiran spekulatif yang lebih rapi, tetapi tetap spekulatif, sebagai latihan intelektual yang mematangkan kapasitas manusia untuk sistematisasi.
Mengapa Comte memandang fase ini perlu? Jawabannya terletak pada pandangannya tentang sejarah intelektual sebagai progres linear menuju ketepatan ilmiah. Bagi Comte, manusia tidak bisa melompat dari mitos ke metode ilmiah instan, diperlukan proses di mana struktur berpikir berubah secara bertahap. Metafisika, dengan semua generalisasinya, menyuburkan kebiasaan merasionalisasi pengalaman. Ia memaksa pemikir untuk mengalihkan fokus dari agen-agen pribadi ke pola dan relasi, suatu langkah penting menuju penemuan hukum-hukum sosial yang dapat diuji. Dengan kata lain, metafisika mengajarkan kita mengenali pola di balik peristiwa sebelum kita mampu mengukurnya secara empiris.
Namun posisi Comte juga membuka dirinya pada kritik yang tajam. Menganggap metafisika semata-mata sebagai fase transisi merendahkan kontribusi filosofis yang lebih luas. Banyak kategori metafisik seperti konsep sebab, identitas, atau substansi, bukan hanya sisa-sisa historis, mereka adalah prasyarat konseptual bagi ilmu itu sendiri. Pertanyaan-pertanyaan metafisik sering menghasilkan klarifikasi yang kemudian memberi arah pada penyelidikan empiris. Bila Comte terlalu cepat membuang nilai ontologis dari metafisika, kita kehilangan kesempatan untuk memahami bagaimana konsep-konsep besar itu membentuk batas-batas kemungkinan ilmiah.
Lebih jauh lagi, ada bahaya reduksionisme dalam pembacaan Comte, bahwa hanya apa yang bisa diukur dan diuji yang bernilai. Metafisika memberi gerak bagi pertanyaan tentang makna, tujuan, dan nilai, wilayah yang ilmu positif sulit raih karena keterbatasan metode kuantitatifnya. Dalam konteks kehidupan sosial, aspek-aspek seperti martabat, kewajiban dan keadilan memerlukan ruang refleksi yang bukan sekadar teknis. Jika metafisika dihapuskan dari ruang publik sebagai urusan kuno, kita mungkin menemukan masyarakat yang efisien secara teknis namun kurang bersumber pada imajinasi etis yang mendalam.
Namun bukan berarti Comte menutup sepenuhnya nilai metafisika. Dalam versi paling empatik, membaca Comte mengingatkan kita bahwa metafisika pernah berfungsi sebagai laboratorium konseptual, tempat diuji gagasan-gagasan besar sebelum akhirnya disempurnakan dengan data. Pembentukan kategori seperti kekuatan atau keteraturan mungkin muncul secara metafisik, tetapi kemudian diuji dan dibentuk kembali oleh penelitian. Comte menitikberatkan transformasi ini, bahwa gagasan-gagasan yang bertahan adalah yang mampu beradaptasi dengan tuntutan bukti dan prediksi.
Relevansi pembacaan ini terasa kuat di zaman modern. Kita hidup di era data besar, algoritma dan optimasi, sebuah era yang berpotensi memfavoritkan jawaban cepat yang dapat diukur. Tetapi setiap revolusi teknis membawa pertanyaan-pertanyaan baru yang tidak langsung bisa dijawab oleh statistik, apa tujuan masyarakat yang sedang kita optimalkan? Untuk siapa kemajuan itu dimaksudkan? Di sinilah warisan metafisik kembali mendesak, kita butuh konsep-konsep etis, estetis dan politik untuk membingkai pertanyaan-pertanyaan ilmiah agar tidak lari tanpa arah.
Pendekatan Comte pada akhirnya mengundang keseimbangan, menghargai peran metafisika sebagai langkah sejarah yang membantu membentuk akal rasional, namun menolak klaim absolut yang menjadikan metafisika sebagai akhir dari pencarian pengetahuan. Metafisika bukan musuh ilmu, melainkan mitra awal dari ilmu itu sendiri, ruang yang membantu lahirnya pertanyaan-pertanyaan yang kemudian diuji. Positivisme yang matang bukanlah penolakan terhadap refleksi metafisik, melainkan pengakuan bahwa refleksi itu harus berinteraksi secara dinamis dengan bukti empiris.
Kesimpulannya, ketika Comte melihat metafisika sebagai fase transisi, ia menyodorkan narasi optimistik tentang perjalanan manusia menuju pengenalan yang lebih tajam terhadap dunia. Pembacaan itu mengingatkan kita bahwa evolusi intelektual bukan lompatan steril melainkan proses bertahap yang dipenuhi latihan konsep. Namun kita juga harus berhati-hati agar tidak menyikapi metafisika sebagai sisa usang yang bisa ditepuk tangan lalu dibuang. Di tengah hiruk-pikuk data dan algoritma, metafisika tetap diperlukan, bukan untuk menggantikan ilmu, melainkan untuk menegakkan bingkai makna yang memberi arah pada ilmu. Comte mungkin ingin meninggalkan metafisika di belakang, tetapi warisannya mengajarkan kita satu hal yaitu kematangan intelektual adalah kemampuan menjadikan temuan ilmiah dan refleksi metafisik saling memperkaya dan bukan saling meniadakan.
Wawan Sutaji